Marsalah Mursalah Kaitannya dengan Ekonomi dan Keuangan Islam


 a.Pengertian Ekonomi
Definisi tentang ekonomi secara umum adalah ilmu mengenai asas-asas produksi, distribusi dan pemakaian barang-barang serta kekayaan, pemanfaatan uang, tenaga dan waktu dan sebagainya yang berharga; tata kehidupan perekonomian (suatu negara); urusan keuangan rumah tangga (organisasi, negara).[1]
Definisi diatas senada dengan definisi M. Dawam Raharjo dalam bukunya mengungkapkan bahwa ekonomi sebagai sebuah ilmu adalah tentang perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan-tujuan dan alat-alat pemuas yang langka, yang kemudian mengandung pilihan dalam penggunaannya. Definisi ini mencakup aspek yang lebih luas selain berupa “kajian tentang produksi, distribusi, dan konsumsi kekayaan di dalam masyarakat manusia “ juga mengenai kegiatan objek ekonomi, yaitu “kekayaan” yang tak lain adalah “kekayaan material”.[2]
Sedangkan Taqiyuddin An-Nabhani mengemukakan bahwa kata “ekonomi” diambil dari Bahasa Yunani Kuno (Greek), yang maknanya adalah “mengatur urusan rumah tangga”, dimana anggota yang mampu, ikut terlibat dalam menghasilkan barang-barang berharga dan membantu memberikan jasa, lalu seluruh anggota keluarga yang ada ikut menikmati apa yang mereka peroleh. Kemudian populasinya semakin banyak dalam rumah-rumah, lalu menjadi suatu kelompok yang diperintahkan oleh satu negara.
Oleh karena itu, menurutnya kata “ekonomi” bukanlah makna bahasa, yang berarti hemat, juga bukan berarti kekayaan. Akan tetapi berarti makna istilah untuk suatu sebutan tertentu, yaitu kegiatan mengatur urusan harta kekayaan. Baik yang menyangkut kegiatan memperbanyak jumlah kekayaan serta menjaga pengadaannya, maupun yang berhubungan dengan tata cara (mekanisme) pendistribusiannya.[3]
Berangkat dari pengertian di atas, maka definisi operasionalnya adalah “ekonomi” dalam artian disiplin ilmu adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari usaha-usaha manusia untuk mencapai kemakmuran serta gejala-gejala yang timbul dari usaha tersebut.[4]
b. Problematika Ekonomi Dalam Masyarakat
Perkembangan  dunia ekonomi yang begitu pesat ternyata berbanding lurus dengan kelahiran problematika-problematika baru dalam kehidupan masyarakat. Hubungan-hubungan yang timbul dari masyarakat adalah asal dari setiap hukum positif diantaranya adalah keimnginan untuk memelihara hubungan-hubungan antar warga masyarakat menimbulkan hukum perdata serta adanya kebutuhan untuk menjaga keamanan dan kedamaian hidup bersama yang melahirkan hukum pidana dan demikian seterusnya.[5]
Norma-norma hukum yang sudah mendapatkan perumusan yuridis sebagai penegasan dari perkembangan terakhir dari penilaian-penilaian manusia tentang nisbah-nisbah sosial yang ada, secara timbal balik dapat mempengaruhi proses produksi dan peredaran barang dalam masyarakat itu dari waktu ke waktu senantiasa berubah-ubah. Karena itu hubungan-hubungan hukum yang telah ada dapat dikatakan mencerminkan hubungan-hubungan ekonomi.
Kemudian daripada itu ada satu hal yang juga mengambil tempat penting dalam soal hubungan antara hukum dengan ekonomi, yakni masalah hak milik. Sistem liberal kapitalisme yang bersumberkan pada teori Laiser Faire Leiser Aller memandang hak milik sebagai hak mutlak seseorang individu yang harus dijamin keamanannya oleh penguasa. Ia bebas mempergunakan hak miliknya itu menurut kehendaknya sendiri dan penguasa tidak boleh ikut campur di dalamnya. Sistem ini menciptakan perumusan peraturan-peraturan yang menjamin hak seorang (individu) untuk memiliki, menguasai dan menikmati benda menurut kemauannya sendiri tanpa ada suatu batas (dari penguasa).
Dengan demikian sistem ini melemparkan manusia ke arena perjuangan hidup ini dengan kebebasan alamiah sepenuhnya. Dengan pengetahuan, bahwa manusia pada tabiatnya mengandung perbedaan-perbedaan kekuatan, baik jasmaniah maupun kercerdasan otaknya, maka sistem ini mengajak manusia menjadikan hidup ini sebagai medan perebutan rezki untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya masing-masing. Dalam suasana yang demikian itu, si kuat akan bertambah kuat, si cerdik akan lebih leluasa mengambil keuntungan, si lemah dan si bodoh akan lebih senantiasa menjadi mangsa si kuat atau dengan perkataan lain sistem kapitalis merupakan tanah yang subur bagi tumbuhnya praktek-praktek eksploitasi manusia oleh manusia.
Kebalikan dari sistem liberal kapitalisme adalah sistem komunisme yang dalam prinsipnya tidak mengakui secara mutlak hak milik seorang (individu), khususnya dalam hal alat-alat produksi. Dalam sistem ini penguasalah yang menjadi pemilik satu-satunya dari semua harta (benda) yang ada dalam masyarakat dan karena itu penguasalah yang menguasai semua alat produksi dan peredaran barang secara mutlak.[6]
Secara teoritis, karena kepemilikan, penguasa atau semua harta (benda) yang ada dalam masyarakat khususnya atas alat-alat produksi dan peredaran barang ada di tangan penguasa. Maka tentunya penguasa akan memperhatikan dan memenuhi kebutuhan rakyatnya secara adil dan merata, baik kebutuhan-kebutuhan jasmaniah maupun rohaniah. Tetapi karena dalam teori politik komunisme, penguasa adalah wakil dari kelas yang berkuasa yakni kelas : “Proletar”, maka tugas penguasa dalam teori adalah menindas kelas lainnya yang tidak termasuk dalam kelasnya dan dalam prkateknya juga menindas kaum proletar itu sendiri. Dengan demikian terjadilah eksploitasi manusia oleh manusia dengan cara yang lebih sistematis.
Walaupun dengan timbulnya paham “welfare-state” pada zaman modern ini, pelaksanaan dua sistem ekonomi yang sangat berlawanan di atas di banyak negara secara berangsur-angsur mengalami beberapa kelunakan, namun ciri-cirinya yang asli masih tetap berpengaruh besar dalam perumusan-perumusan yuridis mereka. Tetapi dalam satu hal mereka ada persamaan, yakni dalam pandangan mereka terhadap kebendaan dan ini adalah yang menjadi pokok pangkal pemikiran mereka, yakni sama-sama terlalu menyukai benda atau terlalu materialistis, sebagaimana dalam firman Allah: “dan sesungguhnya manusia itu sangat suka kepada kebendaan (materialistis). (Q.S. Al-Adiyat, ayat: 8).
Jadi soal kebendaan ini merupakan salah satu masalah pokok dalam kehidupan manusia, dari segi ekonomi menyangkut masalah pemanfaatannya dan dari segi hukum menyangkut masalah kepemilikannya. Namun kemudian satu sama lain mempunyai pengaruh timbal balik yang akan menentukan arah hidup manusia, ini dari satu sisi. Sedangkan dari sisi lain, akibat kegagalan sistem ekonomi kapitalis ataupun sosialis dan sistem lainnya dalam memenuhi kehidupan ekonomi umat, telah menarik perhatian para ekonom Islam untuk membangun sistem ekonomi alternatif dalam perspektif Islam. semua metode pemecahan terhadap kebobrokan dan absurditas asas-asas (kapitalis dan sosialis termasuk dalam hal ini komunisme) masih bertentangan dengan metode operasional (thariqah)[7] Islam, dimana metode (thariqah) Islam dalam mengambil pemecahan masalah ekonomi adalah juga yang dipergunakan untuk memecahkan setiap masalah manusia, yaitu mengkaji dan memahami realitas masalah ekonomi tersebut, lalu menggali pemecahan masalahnya dari nash-nash sara’ kemudian mengukuhkan kesesuaian antara nash-nash tersebut dengan realitas ekonomi yang ada.
Dari sisi ini dapat dilihat bahwa pada masa sekarang terdapat badan-badan atau lembaga-lembaga perniagaan modern yang semakin berkembang dan menyangkut banyak orang. Dari sini kemudian muncul perbincangan mengenai pendapat-pendapat Islam dari segi halal dan haramnya. Pendapat yang bertentangan ini terjadi di dalam masyarakat Islam yaitu masyarakat Islam modern dan masyarakat Islam ortodoks. Pendapat-pendapat yang bertentangan ini kadang-kadang menimbulkan kesenjangan yang amat luas yang berarti masalah ini bisa melahirkan kebekuan sikap masyarakat dalam melakukan aktifitas ekonomi.


[1] Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 530
[2] M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Sosial Ekonomi, (Cet. I; Yogyakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat, 1999), h. 3
[3]Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam, h. 47
[4] Hasan Sadly, Ensiklopedi Indonesia, Jilid II (Jakarta : Ikhtiar Baru -Van Hoeve, 1983), h. 892
[5] Anwar Harjono, Hukum Islam Keluasan dan keadilannya (Cet. II; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1987), h. 13
[6] Ibid, h. 138
[7] Taqiyuddin An-Nabhani, Op.Cit., h. 45

Klik link Ini untuk Download Selengkapnya