Ada beberapa langkah yang harus ditempuh bagi seorang mufassir dalam menggunakan metode Tafsir Maudhu’i ini, yaitu :
1. Tentukan terlebih dahulu masalah/topik (tema) yang akan dikaji, untuk menetapkan masalah ini dianjurkan melihat “Kitab Tafsir Alquran Al-Karim karya sekelompok orientalis yang diterjemahkan oleh Muhammad Fuad Al-Baqi.
2. Inventarisir (himpun) ayat-ayat yang berkenaan dengan tema/topik yang telah ditentukan, (selain dibantu kitab diatas, dapat pula di baca Al-Mu’jam Al-Mufahras Li Al-Fazil Quran “karangan M. Fuad Al-Baqi”.
3. Rangkai urutan ayat sesuai dengan masa turunnya baik Makiyah maupun Madaniyahnya, hal ini dapat juga dilihat pada “al-Itqon” karya Al-Suyu¯I dan “Al-Burhan” karya Al-Zarkasyi.
4. Pahami korelasinya (munasabahnya) ayat-ayat dalam masing-masing suratnya.
5. Susun bahasan didalam kerangka yang tepat, sistematis, sempurna dan utuh.
6. Lengkapi bahasan dengan Hadis. Sehingga uraiannya menjadi jelas dan semakin sempurna.
7. Pelajari ayat-ayat tersebut secara sistematis dan menyeluruh dengan cara menghimpun ayat-ayat yang mengandung pengertian yang serupa, menyesuaikan antara pengertian yang umum dan yang khusus, antara Muallaq dan Muqayyad, atau ayat-ayat yang kelihatannya kontradiksi, sehingga semua bertemu dalam satu muara sehingga tidak ada pemaksaan dalam penafsiran.[1]
Adapun rumusan langkah-langkah yang ditempuh dalam metode Tafsir Maudhu’i yang dikemukakan oleh Ali Hasan al-Aridh antara lain :
1. Himpun seluruh ayat-ayat Alquran yang terdapat pada seluruh surat yang berkaitan dengan tema yang hendak dikaji.
2. Tentukan urutan ayat-ayat yang dihimpun itu sesuai dengan masa turunnya dan mengemukakan sebab-sebab turunnya jika hal itu dimungkinkan.
3. Jelaskan munasabah antara ayat-ayat itu pada masing-masing suratya dan kaitkan antara ayat-ayat tersebut dengan ayat-ayat yang ada sesudahnya.
4. Buat sistematika kajian dalam kerangka yang sistimatis dan lengkap dengan outlinenya yang mencakup semua segi dari tema kajian tersebut.
5. Kemukakan Hadis-Hadis Rasulullah SAW yang berbicara tentang tema kajian serta menerangkan derajat Hadis-Hadis tersebut untuk lebih meyakinkan kepada orang lain yang memperlajari tema itu.
6. Rujuk kepada kalam (ungkapan-ungkapan Bangsa Arab dan syair-syair mereka) dalam menjelaskan lafadh-lafadh yang terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang tema kajian dalam menjelaskan maknanya.
7. Kajian terhadap ayat-ayatyang berbicara tentang tema kajian dilakukan secara Maudhu’i terhadap segala segi dan kandungannya, bail lafadh ‘Am, Khas, muqayyad, mu’allaq, syarat, jawab, Hukum-hukum fiqih, nasakh dan Mansukh (bila ada), unsur balaghoh dan I’jaz, berusaha memadukan ayat-ayat lain yang diduga kontradiktif dengannya atau dengan Hadis-Hadis Rasulullah SAW yang tidak sejalan dengannya, menolak kesamaran yang sengaja ditaburkan oleh pihak-pihak lawan Islam, juga menyebut berbagai macam qira’ah, menerapkan makna ayat-ayat terhadap kehidupan masyarakat dan tidak menyimpang dari sasaran yang dituju dalam tema kajian.[2]
Kedua prosedur atau langkah-langkah di atas, walaupun dikemukakan dengan cara sedikit berbeda namun secara esensial keduanya tentu saling berkaiatan dan saling melengkapi satu sama lainnya, sehingga nampaklah bahwa langkah-langkah tersebut menempatkan penyusunan pembahasan dalam satu kerangka yang sempurna.
Zahir bin Awadh, lebih luas menambahkan langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menggunakan metode Tafsir Maudhu’i antara lain :
1. Menafsirkan ayat-ayat tersebut yang dapat dipahami dari padanya hikmah didatangkannya ayat-ayat yang tersebut dantujuan dari syari’at yang dibawanya.
2. Melahirkan tema tersebut dalam satu bentuk uraian yang sempurna dan lengkap yang berpedoman pada syarat-syarat penelitian ilmiah.[3]
Dengan demikian semakin jelaslah bahwa dari ketiga pendapat tersebut diatas tetap menempatkan unsur tema atau topik sebagi unsur yang pertama dan sangat diutamakan. Inilah yang menjadi karakteristik metode Tafsir Maudhu’i yang membedakan dengan Tafsir lainnya.
Dari berbagai langkah yang dikemukakan diatas, maka kita dapat melihat beberapa persamaan dan sedikit perbedaan yang harus ditempuh bagi seorang mufassir dalam menggunakan metode Tafsir Maudhu’i ini.
Persamaannya adalah :
a. Bagi seorang mufassir harus terlebih dahulu menentukan topik yang akan dikaji, kemudian menghimpun ayat-ayat yang berkenaan dengan tema yang telah ditentukan dan menentukan pula urutan ayat sesuai dengan masa turunnya.
b. Menentukan munasabah antara satu ayat dengan ayat lainnya den menentukan pula bahasan dalam suatu kerangka yang tepat dan sistematis yang mencakup semua segi dari tema kajian.
c. Mengemukakan Hadis-Hadis Rasulullah SAW yang juga menerangkan tema yang telah ditentukan.
Sedangkan perbedaannya, tampak bagi kita bahwa Ali Hasan al-Aridh, ia menambahkan lebih jauuh untuk menjelaskan makna-makna ayat membicarakan tentang tema kajian yang telah ditentukan, sorang mufassir harus merujuk kepada lughot atau syair-syair Arab.