Lembaga Keuangan Di Masa Rosulullah

Sebelum Muhammad diangkat sebagai rasul, dalam masyarakat jahiliyah sudah terdapat sebuah lembaga politik semacam dewan perwakilan rakyat untuk ukuran masa itu yang disebut Daarun Nadwah. Di dalamnya para tokoh Makkah berkumpul dan bermusyawarah untuk menentukan suatu keputusan. Ketika dilantik sebagai rasul, mereka mengadakan semacam lembaga tandingan untuk itu, yaitu Daarul Arqam. Perkembangan lembaga ini terkendala karena banyaknya tantangan dan rintangan, sampai akhirnya Rasulullah memutuskan untuk hijrah ke Madinah.
Ketika beliau hijrah ke Madinah, maka yang pertama kali didirikan Rasulullah adalah masjid (Quba), yang bukan saja merupakan tempat beribadah, tetapi juga sentral kegiatan kaum muslimin. Kemudian beliau masuk Madinah dan membentuk ”lembaga” persatuan di antara para sahabatnya, yaitu persaudaraan antara Muhajirin dan kaum Anshar. Hal ini diikuti dengan pembangunan masjid lain yang lebih besar (masjid Nabawi), yang kemudian menjadi sentral pemerintah untuk selanjutnya.
Pendirian ”lembaga” dilanjutkan dengan penertiban pasar. Rasulullah diriwayatkan menolak membentuk pasar baru yang khusus untuk kaum muslimin, karena pasar merupakan sesuatu yang alamiah dan harus berjalan dengan sunnatullah. Demikian halnya, dalam penentuan harga. Akan halnya mata uang tidak ada satu pun bukti sejarah yang menunjukkan bahwa Nabi menciptakan mata uang sendiri.
a. Pendirian Baitul Maal
Sesuatu yang revolusioner yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam adalah pembentukan lembaga penyimpanan yang disebut Baitul Maal. Apa yang dilaksanakan Rasul itu merupakan proses penerimaan pendapatan (revenue collection) dan pembelanjaan (expenditure) yang transparan yang bertujuan apa yang disebut sekarang ini sebagai welfare oriented. Ini sangat asing pada waktu itu, karena umumnya pajak-pajak yang dikumpulkan oleh para penguasa di kerajaan-kerajaan tetangga sekitar jazirah Arabia seperti Romawi dan Persia umumnya dikumpulkan oleh seorang menteri dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan kaisar dan raja. Kalaupun lembaga Baitul Maal yang menurut pada orientalis bukan sesuatu yang baru, maka proses siklus dana masyarakat (zakat, wakaf, ushr dan sebagainya) yang dinamis dan berputar dengan cepat merupakan preseden yang sama sekali baru.
Sebagian berpendapat bahwa Baitul Maal serupa dengan bank sentral seperti yang ada sekarang walaupun tentunya lebih sederhana karena berbagai keterbatasan pada waktu itu. Untuk sebagian yang lain, Baitul Maal berfungsi seperti Menteri Keuangan atau Bendahara Negara masa kini, karena fungsinya yang aktif dalam menyeimbangkan antara pendapatan dan belanja negara, bukan hanya berfokus kepada pengaturan suplai dan moneter. Tetapi seiring dengan keperluan zaman kedua fungsi ini kemudian dilaksanakan.
b. Wilayatul Hisbah
Konsep yang sama sekali baru adalah sistem pengawasan atau kontrol oleh negara yang pada zaman Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Salam dipegang sendiri oleh beliau. Ini sejalan dengan apa yang pada zaman modern disebut “enfocement agency”. Beberapa waktu kemudian konsep pengawasan ini terkenal dengan sebutan “Wilayatul Hisbah”. Konsep ini merupakan preseden baru, mengingat pada zaman itu dimensi pengontrolan di kerajaan sekitar Laut Tengah tidak ada sama sekali. Raja-raja dan penguasa lokal seenaknya mengenakan upeti dari rakyat dan mempermainkan harga di pasar agar komoditas yang mereka miliki mahal harganya, sedangkan barang-barang yang diperlukan jatuh harganya.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah menegur seseorang yang menjual kurmanya dengan harga yang berbeda di pasar. Juga diriwayatkan bahwa Rasulullah menolak permintaan para sahabatnya agar menentukan harga yang layak bagi kaum muslimin karena harga-harga yang ada di pasar terlalu tinggi.
Pilar infranstruktur yang satu ini barangkali yang terpenting menurut prespektif ekonomi dari sekian pilar yang ada, karena ini merupakan bingkai (framework) bagi aktivitas ekonomi dan mualamat. Dengan kata lain, aktivitas muamalat pada zaman itu tidak akan berhasil tanpa “law and order”.
c. Pembangunan Etika Bisnis
Rasulullah tidak saja meletakkan dasar tradisi penciptaan suatu lembaga, tetapi juga membangun sumber daya manusia dan akhlak (etika) lembaga sebagai pendukung dan prasyarat dari lembaga itu sendiri.
Kelembagaan “pasar”, misalnya, tidak akan berjalan dengan baik tanpa akhlak dan etika yang diterapkan.
Larangan Riba dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, Islam melarang mengambil riba apa pun jenisnya. Islam melarang mengambil Riba sekecil apa pun nilainya.
Hal-hal Yang Harus dihindari dalam Islamic Financial Institution:
1.      Maisir, adalah praktek spekulasi/gambling/judi untuk mendapatkan keuntungan.
2.      Gharar, adalah transaksi yang mengandung tipuan dari salah satu pihak sehingga pihak yang lain dirugikan.
3.      Bathil, adalah terjadinya transaksi yang disertai kerusakan dari barang yang diperdagangkan sehingga kesepakatan menjadi batal.
d. Penghapusan Riba
Walaupun basic infrastructure telah barhasil dibangun, namun kondisi Madinah masih belum lagi kondusif untuk pembangunan sektor ekonomi, terutama public economics. Keberadaan para yahudi dengan praktik ribanya membuat penduduk Madianah resah, kerana sering kali perbuatan mereka itu mencekik leher. Untuk Rasulullah sendiri praktik ini sudah beliau ketahui sejak masih berada di Mekkah, karena ayat-ayat yang turun di Mekkah ada yang menceritakan praktik kotor orang Yahudi tersebut.
            e. Monopoli
 Merupakan kejahatan pasar yang tidak pernah dimanfaatkan oleh siapapun. Ini sudah dilarang oleh Nabi Shalallahu Alaihi Wa Salam sejak abad 14 yang lalu. Demikian pula sebaliknya, yang monopsoni. Kedua hal ini bertentangan dengan kebijakan ekonomi muamalah gaya Rasulullah yang mementingkan keadilan.
Dasar Hukum
Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. An-Nissaa’ (4 : 160-161)
Opini umum menganggap bahwa dengan melakukan peminjaman uang kepada orang lain dan menetapkan riba pada pinjaman itu maka pinjaman itu akan tumbuh.
 Tapi opini ini dijawab langsung oleh Al-Qur’an, bahwa itu tidak betul. Firman Allah Shubhannahu Wa Ta’alaa dalam Al Qur’an dalam Surah ar-Ruum (30 : 39) menyebutkan:
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”.
 Ar-Ruum (30 : 39)
Namun teguran Al-Qur’an ini tidak dihiraukan oleh beberapa orang sahabat yang terlanjur terlibat dengan praktik itu. Lalu datang teguran berikutnya, agar dalam memberikan pinjaman dengan menetapkan riba yang berlipat ganda. Dengan teguran yang kedua ini banyak para sahabat yang meninggalkan riba. Hanya orang Yahudi saja yang tetap melakukan praktik itu dengan dalih bahwa tidak ada bedanya antara jual beli dengan riba, sebab keduanya sama-sama merupakan praktik mencari margin dari modal yang diputarkan.
Sementara para sahabat yang telah meninggalkan riba telah bertaubat sebelum sempat mengatakan agar mereka hanya mengambil modalnya saja.
Penghapusan riba ini terbukti berhasil menciptakan kondisi yang memungkinkan untuk tumbuhya ekonomi secara cepat. Jika pad masa hijrah, Madinah merupakan kota yang miskin, tetapi ketika Nabi meningggal, Madinah merupakan kota baru yang tumbuh dan berkembang menghidupi daerah-daerah sekitarnya.
Prinsip-prinsip yang dianut Dalam Bisnis Islam Secara Umum:
a. Keadilan
 Dalam setiap kebijakan ekonomi Nabi mementingkan keadilan yang bukan saja berlaku untuk kaum Muslimin, tetapi juga berlaku untuk kaum kaum lainnya sekitar Madinah. Terbukti ketika diminta untuk menetapkan harga, Rasulullah marah dan menolaknya. Ini membuktikan bahwa Nabi Shalallahu Alaihi Wa Salam menyerahkan penetapan harga itu pada kekuatan pasar yang alami (bukan karena monopoli atau proteksi). Prinsip ini tercermin dari penerapan imbalan atas dasar bagi hasil dan pengembilan margin keuntungan yang disepakati bersama antara Bank dengan Nasabah.
b. Transparansi
Dalam mengelolan usaha, perbankan syariah diwajibkan mengumumkan hasil usaha secara terbuka kepada para Shahibul mal atau pemilik dana setiap bulannya.
c. Responsibilitas
 Apabila terjadi kerugian usaha yang sedang dikerjakan bersama, maka para pihak harus bersedia menanggung kerugian tersebut sesuai share masing-masing.
d. Accountabilitas
     Adanya tuntunan bahwa setiap transaksi yang mengakibatkan utang piutang hendaknya dilakukan pencatatan agar tidak mengakibatkan kesalahan.
e. Kemandirian
     Adalah mendorong kegiatan investasi pada sektor riil dan mencegah terjadinya simpanan yang tidak produktif melalui prinsip bagi hasil serta memperluas kesempatan kerja.