Dalam
masalah kepemilikan, individu, masyarakat dan Negara sebagai subyek ekonomi
mempunyai hak-hak kepemilikan tersendiri yang ditetapkan berdasarkan ketentuan
syariah.
Konsep kepemilikan menjadi sangat jelas dipaparkan oleh Taqiyuddin
an-Nabhani dalam kitabnya sistem ekonomi islam. Dalam kitab ini dijelaskan
bahwa Islam membagi konsep kepemilikan menjadi : kepemilikan individu (al-milkiyat al-fardiyah/private property);
kepemilikan public (al-milkiyyat
al-'ammah/ public property); dan kepemilikan Negara (milkiyyat al-dawlah/ state private) .[1]
1. Kepemilikan Individu (al-milkiyat al-fardiyah/private property)
Kepemilikan
individu adalah hak individu yang diakui syariah dimana dengan hak tersebut
seseorang dapat memiliki kekayaan yang bergerak maupun tidak bergerak. Hak ini
dilindungi dan dibatasi oleh hukum syariah dan ada kontrol. Selain itu
seseorang akhirnya dapat memiliki otoritas untuk mengelola kekayaan yang
dimilikinya.
Hukum
syariah menetapkan pula cara-cara atau sebab-sebab terjadinya kepemilikan pada
seseorang, yaitu dengan:[2]
1) Bekerja
2) Pewarisan
3) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
4) Pemberian Negara
5) Harta yang diperoleh tanpa usaha apapun
Hukum
syariah juga membatasi pemanfaatan harta dalam hal: menghambur-hamburkan harta
di jalan yang terlarang seperti melakukan aktifitas suap, memberikan
riba/bunga, membeli barang dan jasa yang diharamkan seperti miras/pelacuran.
Melarang transaksi dengan cara: penipuan, pemalsuan, mencuri timbangan/ ukuran.
Dan juga melarang aktifitas yang dapat merugikan orang lain seperti menimbun
barang untuk spekulasi.
Islam
juga menuntunkan prioritas pemanfaatan harta milik individu, bahwa pertama-tama
harta harus dimanfaatkan untuk perkara yang wajib seperti untuk member nafkah
keluarga, membayar zakat, menunaikan haji, membayar utang dan lain-lain.
Berikutnya dimanfaatkan untuk pembelanjaan yang disunahkan seperti sedekah,
hadiah. Baru kemudian yang mubah.
Aturan
Islam juga berbicara tentang bagaimana sesorang akan mengembangkan harta.
Antara lain dengan jalan yang sah seperti jual beli, kerja sama usaha (syarikah)
yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian maupun perdagangan dan jasa.
Dan juga larangan pengembangan harta seperti memungut riba, judi, dan investasi
di bidang yang haram seperti membuka rumah bordil, diskotik dan lain-lain.
2. Kepemilikan Publik (al-milkiyyat al-'ammah/ public property)
Kepemilikan
publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah
bagi kaum muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim.
Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun
terlarang memilikinya secara pribadi. Ada
tiga jenis kepemilikan publik:
- Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga Negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energy, pembangkit listrik dll.
- Kekayaan yang aslinya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll.
- Barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).
Seperti
dalam hadith riwayat Abu Dawud dan Ibn Majah: “Manusia berserikat (bersama-sama
memiliki) dalam tiga hal: air, padang
rumput dan api " [3]
Hak
pengelolaan kepemilikan umum (milkiyah amah) ada pada masyarakat secara umum
yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Negara karena Negara adalah wakil
rakyat. Negara harus mengelola harta milik umum itu secara professional dan
efisien.
Meskipun
Negara memiliki hak untuk mengelola milik umum, ia tidak boleh memberikan hak
tersebut kepada individu tertentu. Milik umum harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya kepada masyarakat luas.
Pemanfaatan
kepemilikan umum dilakukan dengan dua cara yaitu: pertama: jika memungkinkan,
individu dapat mengelolanya maka individu tersebut hanya diperkenankan sekedar
mengambil manfaat barang-barang itu dan bukan memilikinya. Missal memanfaatkan
secara langsung milik umum seperti air, jalan umum dll. Kedua, jika tidak mudah
bagi individu untuk mengambil manfaat secara langsung seperti gas dan minyak
bumi, maka Negara harus memproduksinya sebagai wakil dari masyarakat untuk
kemudian hasilnya diberikan secara cuma-cuma kepada seluruh rakyat, atau jika
dijual hasilnya dimasukkan ke bait al-mal (kas Negara) untuk kepentingan
masyarakat.[4]
3. Kepemilikan Negara (milkiyyat al-dawlah/ state private)
Adalah
harta yang merupakan hak bagi seluruh kaum muslimin/rakyat dan pengelolaannya
menjadi wewenang khalifah/negara, dimana khalifah/negara berhak memberikan atau
mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim/rakyat sesuai dengan ijtihadnya.
Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki
khalifah untuk mengelolanya.
Kepemilikan
negara ini meliputi semua jenis harta benda yang tidak dapat digolongkan ke dalam
jenis harta milik umum (al-milkiyyat al-'ammah/public property) namun terkadang
bisa tergolong dalam jenis harta kepemilikan individu (al-milkiyyat al-fardiyyah).[5]
Beberapa
harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis kepemilikan negara menurut al-shari'
dan khalifah/negara berhak mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:
1.
Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang dengan orang
kafir), fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa peperangan) dan khumus
2.
Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang diperoleh dari
orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)
3.
Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada kaum muslim
dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada Islam)
4.
Harta yang berasal dari daribah (pajak)
5.
Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil pemerintah dari
pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan pungutan yang diklasifikasikan
berdasarkan agamanya)
6.
Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris (amwal
al-fadla)
7.
Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad
8.
Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai negara, harta yang
didapat tidak sejalan dengan shara'
9.
Harta lain milik negara, semisal: padang
pasir, gunung, pantai, laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.
Milik
Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya
menjadi wewenang khalifah semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya.
Sebagai pihak yang memiliki wewenang, ia bisa saja mengkhususkannya kepada
sebagian kaum muslim, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh
khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Meskipun
harta milik umum dan milik Negara pengelolaannya dilakukan Negara, keduanya
berbeda. Harta milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan Negara kepada
siapapun, meskipun Negara dapat membolehkan orang-orang untuk mengambil
manfaatnya. Adapun terhadap milik Negara, khalifah berhak untuk memberikan
harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakannya.[6]
[1] Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi,
Teungku, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra 1999, h 55.
[2] Ibid,
h 56
[3]Al-Misri,
Rafiq Yunus. Usul al-Iqtishad al-Islami. Beirut: Dar al-Qalami, 1999, h 22.
[4] Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi,
Teungku, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra 1999, h 33.
[5] Ibid,
h 45.
[6] Faruq an-nabahan, Sistem Ekonomi Islam : pilihan setelah
kegagalan sistem kapitalis dan sosialis, terj. Muhadi zainuddin, Yogyakarta : UII Press, 2000, h 48.