Islam
memandang bahwa seluruh harta yang ada di dunia ini (bahkan seluruh alam
semesta ini) sesungguhnya adalah milik Allah, berdasarkan firman Allah:
“Dan berikanlah kepada mereka sebagian dari
harta Allah yang dikaruniakannya kepadamu” (Q.S. An-Nuur: 33). Dari ayat
ini dipahami bahwa harta yang dikaruniakan Allah kepada manusia sesungguhnya
merupakan pemberian Allah yang dikuasakan kepadanya. Hal itu dipertegas dengan
mendasarkan pada firman Allah:
“Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya
dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah Telah menjadikan kamu
menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar. (Q.S. Al-Hadiid: 7).
Penguasaan
(istikhlaf) ini berlaku umum bagi semua manusia. Semua manusia mempunyai hak
pemilikan, tetapi bukan pemilikan yang sebenarnya. Oleh karena itu bagi
individu yang ingin memiliki harta tertentu, maka Islam telah menjelaskan
sebab-sebab pemilikan yang boleh (halal) dan yang tidak boleh (haram) melalui
salah satu sebab pemilikan. Islam telah menggariskan hukum-hukum perolehan
individu, seperti: hukum bekerja, berburu, menghidupkan tanah yang mati,
warisan, hibbah, wasiat dsb.[1]
Ternyata
sistem ekonomi Islam memandang bahwa harta kekayaan yang ada di dunia ini tidak
hanya diperuntukkan pada individu untuk dapat dimiliki sepenuhnya. Semua harta
atau kekayaan yang ada di bumi ini pada hakekatnya adalah milik Allah SWT
secara mutlak dan tunduk kepada aturan yang telah digariskanNya. Dan semua yang
ada di langit dan di bumi ini sebenarnya diperuntukkan bagi manusia untuk
keperluan hidupnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam al-Quran:
“Dialah, Allah yang menciptakan segala apa yang
ada di bumi untukmu kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya
menjadi tujuh langit. Dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”. (al-Baqarah:29)
Secara
logika dapat dipastikan apa-apa yang diciptakan Allah SWT untuk manusia
pastilah mencukupi untuk seluruh manusia. Persoalan kepemilikan terjadi ketika
manusia berkumpul membentuk suatu komunitas dan berinteraksi untuk memenuhi
kebutuhan akan kelangsungan hidupnya. Dalam perjalanan selanjutnya dijumpai ada
sekelompok manusia yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya namun tidak sedikit
pula ada kelompok manusia lain yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.
Disinilah kemudian urgensitas pembahasan konsep kepemilikan ini agar
benar-benar dapat menjadi jawaban bagaimana seharusnya pengaturan kepemilikan
terhadap segala yang sudah dianugerahkan oleh Allah SWT dapat memenuhi
kebutuhan hidup seluruh manusia secara adil.
[1]An-Nabhani,
Taqiyuddin. Sistem Ekonomi Islam. Bogor:
al-Azhar Press, 2009, h 54.