Paradigma dan Asas Akuntansi Syariah


Paradigma  merupakan  istilah  yang  dipopulerkan  Thomas  Khun dalam  karyanya  The  Structure  of  Scientific  Revolution.  Paradigma  di  sini diartikan  Khun  sebagai  kerangka  referensi  atau  pandangan  dunia  yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori.
 Akuntansi  adalah  suatu  kejadian  yang  tidak  hanya  statis. Akuntansi  berkembang  mengikuti  pola  evolusi  masyarakat.  Sebagaimana yang pernah terjadi, yaitu berkembang dari penyatuan aspek agama menuju pada  upaya  pemisahan  agama  dengan  masalah  ekonomi,  maka  akhirnya terjadi perubahan dari agama menuju kepada ekonomi murni, dan akhirnya berkembang lagi dari ekonomi murni menuju kepada sosio-ekonomi.
Berdasarkan  definisi  paradigma  yang  dikemukakan  Kuhn, paradigma baru dapat dikembangkan yaitu paradigma akuntansi syari‟ah yang  dikembangkan  berdasarkan  kepercayaan  masyarakat  Muslim[1].  
Menurut  Ikatan  Akuntan  Indonesia  (2007)  syariah  berlandaskan pada  paradigma  dasar  bahwa  alam  semesta  dicipta  oleh  Tuhan  sebagai amanah  (kepercayaan  ilahi)  dan  sarana  kebahagiaan  hidup  bagi  seluruh umat untuk mencapai kesejahteraan hakiki secara material dan spiritual (al-falah).  Paradigma  dasar  ini  menekankan  setiap  aktivitas  umat  manusia memiliki  akuntabilitas  dan  nilai  ilahiah  yang  menempatkan  perangkat syariah  dan  akhlak  sebagai  parameter  baik  dan  buruk,  benar  dan  salah aktivitas usaha. Paradigma ini akan membentuk integritas  yang membantu terbentuknya karakter tata kelola yang baik (good governance) dan disiplin pasar (market discipline) yang baik.
Syariah  berasaskan pada  prinsip:  1)  Persaudaraan  (ukhuwah);  2)  Keadilan  (‘adalah);  3) Kemaslahatan  (maslahah);  4)  Keseimbangan  (tawazun);  dan  5) Universalisme (syumuliyah). Prinsip  persaudaraan  (ukhuwah)  esensinya  merupakan  nilai universal  yang  menata  interaksi  sosial  dan  harmonisasi  kepentingan  para pihak  untuk  kemanfaatan  secara  umum  dengan  semangat  saling  tolong menolong[2]
Transaksi  syariah  menjunjung  tinggi  nilai  demokrasi  nilai kebersamaan  dalam  memperoleh  manfaat  (sharing  economics)  sehingga seseorang  tidak  boleh  mendapat  keuntungan  di  atas  kerugian  orang  lain. Ukhuwah  dalam  transaksi  syariah  berdasarkan  prinsip  saling  mengenal (ta’aruf),  saling  memahami  (tafahum),  saling  tolong  menolong  (ta’awun), saling menjamin (takaful) serta saling bersinergi dan beraliansi (tahaluf). 
Prinsip  keadilan  (‘adalah)  esensinya  menempatkan  sesuatu hanya  pada  tempatnya  dan  memberikan  sesuatu  hanya  pada  yang  berhak serta  memperlakukan  sesuatu  sesuai  posisinya.  Implementasi  keadilan dalam  kegiatan  usaha  berupa  aturan  prinsip  muamalah  yang  melarang adanya unsur:
1)      Riba (unsur bunga dalam segala bentuk dan jenisnya, baik riba nasiah maupun fadhl);
2)      Kezaliman  (unsur  yang  merugikan  diri  sendiri,  orang  lain,  maupun lingkungan);
3)      Maysir (unsur judi dan sikap spekulatif);
4)      Gharar (unsur ketidakjelasan); dan
5)      Haram  (unsur  haram  baik  dalam  barang  maupun  jasa  serta  aktivitas operasional terkait).
Prinsip  kemaslahatan  (mashlahah)  esensinya  merupakan  segala bentuk  kebaikan  dan  manfaat  yang  berdimensi  duniawi  dan  ukhrawi, material  dan  spiritual  serta  individual  dan  kolektif.  Kemaslahatan  harus memenuhi  secara  keseluruhan  unsur-unsur  yang  menjadi  tujuan  ketetapan syariah  (maqasid  syariah)  yaitu  berupa  pemeliharaan  terhadap  akidah, keimanan  dan  ketakwaan  (dien),  akal  (‘aqdl),  keturunan  (nasl),  jiwa  dan keselamatan (nafs); dan harta benda (mal).
Prinsip  keseimbangan  (tawazun)  esensinya  meliputi keseimbangan aspek material dan spiritual, aspek privat dan publik, sektor keuangan  dan  sektor  riil,  bisnis  dan  sosial,  kesimbangan  aspek pemanfaatan  dan  pelestarian.  Transaksi  syariah  tidak  hanya  menekankan pada  maksimalisasi  keuntungan  perusahaan  semata  untuk  kepentingan pemilik  (shareholder).  Sehingga  manfaat  yang  didapatkan  tidak  hanya difokuskan  pada  pemegang  saham,  akan  tetapi  pada  semua  pihak  yang dapat merasakan manfaat adanya suatu kegiatan ekonomi.
Prinsip  universalisme  (syumuliyah)  esensinya  dapat  dilakukan oleh,  dengan,  dan  untuk  semua  pihak  yang  berkepentingan  (stakeholder) tanpa  membedakan  suku,  agama,  ras  dan  golongan,  sesuai  semangat kerahmatan semesta (rahmatan lil alamin). 

Klik Link Berikut Untuk Download Makalah Lengkap
 


[1] Muhammad Rifqi, Akuntansi Syariah: Konsep dan Implementasi PSAK Syariah (Yogyakarta: P3EI Press, 2008)
[2] Ikatan Akuntan Indonesia, Standar Akuntansi Keuangan (Jakarta: Salemba Empat, 2007)