Kelayakan KHI untuk dijadikan pedoman dalam penyelesaian masalalah di dalam masyarakat, khusunya di kalangan umat Islam, berhubungan secara timbal balik dengan unsur lainnya.
Pertama, unsur KHI sendiri sebagai bagian dari perangkat hukum yang unifikatif. Kedua, unsur aparatur pemerintahan bdan pemimpin masyarakat yang menjadi tokoh rujukan. Ketiga, unsur kesadaran hukum masyarakat terutama terhadap KHI. Keempat, unsur kemudahan yang dapat diperoleh oleh masyarakat dalam melaksanakan KHI.
Sebagai perangkat hukum, KHI telah menampung bagian dari kebutuhan masyarakat di bidang hukum yang digali dari (sumber) nilai-nilai hukum yang diyakini kebenarannya. KHI dapat memberikan perlindungan hukum dan ketentraman batin masyrakat, karena ia menawarkan simbol-simbol keagamaan yang dipandang oleh masyarakat sebagai sesuatu yang sakral , ia juga mengakomodasi berbagai pandangan dan aliran pemikiran dibidang fiqih yang secara sosiologis memiliki daya pesan dan daya ingat di dalam masyarakat Islam. Dengan demikian, KHI layak untuk dilaksanakan oleh warga masyarakat yang memerlukannya.[1]
Proses penyusunan KHI dilakukan secara partisipatif. Ia disusun melibatkan pejabat pemerintah, hakim, dan para pemimpin masyarakat (ulama, zu’ama. Dan cendekiawan) yang representtif. Mereka adalah kelompok pertama yang memiliki tanggung jawab moral untuk mensosialisikan KHI kepada masyarakat, terutama dikalangan para pengikut mereka. Sosialisasi itu dapat dilakukan dalam bentuk penyampaian informasi dan aksi kemasyrakatan melalui berbagai media yang dapat digunakan. Dengan demikian, KHI layak dijadikan rujukan dalam penyelesaian masalah perkawinan, kewarisan, dan perwakafan yang diteladani oleh elite masyrakat itu.
Kesadaran hukum masyarakat bertolak dari pengetahuan mereka mengenai muatan KHI. Selanjutnya, KHI menjadi milik mereka mana kala dapat memenuhi bagian dari kebutuhan nyata yang dialami dalam kehidupan sehari-hari. Maksudnya KHI akan efektif apabila bersesuaian dengan kaidah yang dianut dalam menyelesaikan keperluan mereka. Berkenaan dengan hal itu KHI cukup layak dalam menyentuh kesadaran hukum masyarakat, karena sebagaian telah memasyarakat (socialized). Disamping itu, adanya keharusan menyelesaikan masalah hukum dikalangan instansi pemerintahan dan badan peradilan merupakan sarana untuk memacu kesadaran hukum masyrakat melalui produk keputusan kekuasaan negara.[2]
Keberadaan KHI dalam sistem hukum nasional relatif berumur muda. Ia akan dihadapkan kepada berbagai masalah (di samping harapan-harapan), baik dikalangan pemimpin masyarakat maupun dikalangan para pengikut merekan. Masalah pertama adalah sosialisasi KHI kepada warga masyarakat, khusunya dikalangan umat Islam secara umum. Dalam hal ini, para pejabat pemerfintah yang terlibat dalam proses penyusunan KHI dituntut untuk memainkan peranannya sebagai penyuluh dan pengambil keputusan yang konsisten. Demikian pula para ulama dan zu’ama dituntut untuk mensosialisasikan KHI dalam lingkungan masing-masing. Sosialisasi akan mudah silakukan manakala mereka memiliki persepsi yang sama tentang substansi, urgensi, dan misi KHI.
Masalah kedua adalah persepsi dikalangan pemimpin masyarakat terhadap KHI, terutama dikalangan mereka yang tidak terlibatdalam proses penyusunannya, sementara mereka memiliki keterikatan yang ketat trhadap ajaran fuqaha dan meniliki pengaruh yang kuat dikalangan para pengikut mereka. Kelompok pemimpin ini, pada dasarnya memiliki kebebasan untuk berbeda pandangan karena hal itu berpangkal kepada keyakinan yang dianutnya. Hal itu, bahkan, merfupakan unsur penghambat sosialisasi KHI, namun sebaliknya, ia dapat dipandang sebagai sebagai suatu peluang untuk melakukan dialog secara terbuka dan jujur. Apabiala sosialisasia KHI dapat memberikan getaran-getaran pesan yang Islami, dukungan mereka akan mudah diperoleh.[3]
Masalah ketiga adalah kemungkinan terjadi perbenturan antara KHI dengan struktur dan pola budaya masyarakat, khususnya dibidang kewarisan. KHI disusun dan diputuskan oleh elit masyarakat di pusat pemerintahan dan pendidikan, sementara sebagian besar warga masyarakt bermukim di pedesaan yang sangat terikat dengan tradisi lokal. Masih besar kemungkinan, masyarakat menerima hukum kewarisan Islam secara simbolik, sedangkan substansinya mengacu kepapa kaidah lokal yang berlaku secara turun menurun. Pengkajian tentang hal ini, sangat cepat untuk dilakukan secara cermat dan interdisipliner.[4] Dengan cara demikian, dapat dilakukan pelukisjelasan pelaksanaan hukum kewarisan itu secara deskriptif. Bertitik tolak dari hasil pengkajian itu, kemudian, dapat dilakukan sosialisasi yang tepat pula.
[1] Muhammad Daud Ali, dkk, Kompilasi Hukum Islam, Dalam Sistem Hukum Nasional (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), H. 15.
[2] Ibid, h. 16.
[3] Ibid, h. 16-17.
[4] Cik Hasan Bisri dkk, Pergulatan Hukum Islam dengan Kaidah lokal dalam Pembagian Harta (Bandung : Ulul Albab Press, 1997), h. 157-200.