Proses Lahirnya Kompilasi Hukum Islam

 Ide awal pembentukan KHI itu sebenarnya ada pada tahun 1970-an, yaitu setelah lahirnya UU No.14 Tahun 1970, terutama mengenai maksud pasal 10 ayat (1)nya.
[1]Pasal ini mengamanatkan tentang adanya kedudukan Pengadilan Agama yang kuat dalam sistem nasional, juga mempunyai kesetaraan  dengan tiga pengadilan lainnya di Indonesia, juga ditentukan bahwa aspek organisatoris, administratif, dan finasial berada dibawah kekuasaan Departemen Agama, sedang aspek judikatif berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
 Maka pihak Departemen Agama dan Mahkamah Agung merasa berkepentingan untuk mempersiapkan tugas masing-masing terutama menyangkuthukum acara dan hukum materilnya. Khususnya menyangkut hukum materilnya direncanakan melahirkan kitab pedoman hukum yang sifatnya unifikatif, yaitu adanya satu pedoman hukum yang seragam untuk semua Pengadilan Agama, dan kodifikatif, yaitu kitab pedoman hukum tersebut bersifat tertulis, dan terhimpundalam satu kitab hukum formal. Kitab tersebut adalah KHI.[2]
            KHI sebagai kitab hukum formal yang unifikatif dan kodifikatif tersebut sangat diperlukan dan sifatnya segera mengingat pada masa sebelumnya tidak terdapat keseragaman keputusan antar Pengadilan Agama, karena para hakim senantiasa berbeda pendapat dalam mengambil kesimpulan meskipun dalam kasus yang sama. Kenyataan seperti ini terjadi hampir merata pada setiap persoalan. Dengan kenyataan ini maka prinsip kepastian hukum kurang terealisasi dengan baik.[3]
            Meskipun keinginan untuk melahirkan KHI ini cukup kuat, dan dilakukan dengan penuh keseriusan namun hal ini bukanlah pekerjaan sederhana yang segera dapat diselesaikan. Dikatakan demikian karena dengan melahirkan kitab hukum materil semacam KHI bersifat khusus bagi orang Islam tentunya akan dapat mengundang banyak pemikiran yang bersifat pro dan kontra, nuansa pemikiran terhadap hal ini sangat elastis, dengan mudah bisa ditarik ke mana saja orang menginginkan, termasuk kepada pemikiran politis yang mendeskriditkan umat Islam karena mengarah kepada dominasi eksistensi umat Islam dibandingkan dengan non muslim sebagai warga negara yang ingin menghidupkan kembali Piagam Jakarta, alias mendirikan negara Islam. Karenanya tidak heran kalau proses lahirnya KHI tersebuut memakan waktu sampai 30-an (tiga puluh) tahun.[4]
            Dalam rangka mencapai keseragaman tindakan antara Mahkamah Agung dan Departemen Agama dalam pembinaan Badan Peradilan Agama sebagai salah satu langkah menuju terkaksananya UU No 14 1970 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, serta untuk menghindari perbedaan penafsiran dalam pelaksanaan Undang Undang perkawinan No. 1/ 1974, pada tanggal 16 september1976 telah dibentuk Panitia Kerjasama dengan Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung No. 04/KMA/1976 yang  disebut PANKER MAHAGAM (panitia kerja sama Mahkamah Agung/Departemen Agama).
            Setelah adanya kerja sama dengan Mahkamah Agung, maka kegiatan Departemen Agama dalam mewujudkan kesatuan hukum dan menciptakan hukum tertulis bagi umat Islam (kendatipun sudah berlaku dalam masyarakat, namun sebagiannya masih mempunyai status sebagai hukum tidak tertulis), mulai menampakkan diri dalam bentuk seminar, simposium, dan lokakarya, serta penyusunan Kompilasi hukum Islam bidang hukum tertentu, antara lain:
  1. Penyusunan Buku Himpunan dan Putusan peradilan Agama, tahun 1976.
  2. lokakarya tentang Pengacara dan Pengadilan Agama, tahun 1977.
  3. seminar tentang Hukum Waris islam, tahun 1978, dan lain sebagainya.[5]
Sementara itu pertemuan antara ketua Mahkamah Agung RI dengan Menteri Agama RI tanggal 15 Mei 1979 menghasilkan kesepakatan penunjukan enam orang Hakim Agung dari Hakim Agung yang ada untuk berrugas menyidangkan dan menyelasaikan permohona kasasi yang berasal dari lingkungan Peradilan Agama.
Upaya perumusan KHI tersebut mulai lebih konkret setelah tahun 1885, yaitu sejak ditanda tanganinya surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI. Tentang oenunjukan Pelaksa Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprodensi No. 07/KMA/1985 dan Nomor 25 Tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 di Yogyakarta.
Hasil penelitian bidang kitab, yurisprudensi, wawancara, studi perbandingan diolah denan Tim Besar Proyek Pembinaan Hukum Islam melalui yurisprudensi.
Hasil rumusan Tim Besar tersebut dibahas dan diolah lagi dalam sebuah Tim Kecil yang merupakan tim inti. Akhirnya setelah 20 kali pertemuan, Tim Kecil ini menghasilakan tiga buah buku naskah Rancangan Kompilasi Hukum Islam, yang terdiri dari:
a)     Hukum perkawinan
b)     Hukum kewarisan
c)      Hukum perwakafan
Proses selanjutnya setelah Tim Besar melakukan penghalusan redaksi naskah Kompilasi Hukum Islam tersebut di Ciawi BOGOR maka naskah tersebut disampaikan oleh Menteri Agama kepada Presiden, oleh Menteri Agama dengan surat tanggal 14 Maret 1988 Nomor: MA/123/1988 Hal: Kompilasi Hukum Islam dengan maksud untuk memperoleh bentuk yuridis untuk digunakan dalam praktekdi lingkungan Peradilan Agama, maka oleh Presiden lahirlah Instruksi Presiden RI. Nomor 1 tahun 1991 seperti apa yang ada dan masih berlaku sekarang ini.[6]


[1] Dr. Pagar, M. Ag, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Peradilan Agama di Indonesia (Medan IAIN Press, 1995), h. 12.
[2] Dr. Pagar, M. Ag, Pembaharuan Hukum Islam Indonesia, Kajian Terhadap Sisi Keadilan Ahli Waris Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam (Bandung : CitaPustaka, 2007), h. 44.
[3] Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta :Dirjen Binbaga Islam Departemen Agama RI, 1998), h. 128.
[4] Ibid, h. 127-174.
[5] Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatandan Prospeknya (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h. 159.
[6] Pagar, Pembaharuan hukum Islam…, h. 50.