Tingkatan-tingkatan Marsalah Mursalah

 Para ahli Ushul sepakat bahwa syariat Islam bertujuan untuk memelihara 5 hal yakni:
 
1. Memelihara agama.
2. Memelihara jiwa.
3. Memelihara akal.
4. Memelihara keturunanan.
5. Memelihara harta.[1]
Sementara Hamka Haq dalam bukunya “Falsafat Ushul Fiqih” mengemukakan bahwa terdapat 6 aspek kemaslahatan yang menjadi tujuan syariat diantaranya:
1. Memelihara agama.
2. Memelihara jamaah.
3. Memelihara jiwa.
4. Memelihara akal.
5. Memelihara keturuna.
6. Memelihara harta benda.
Aspek ini diurut berdasarkan prioritas urgensinya.[2] Adapun mengenai kemaslahatan setiap aspek tersebut dibedakan dalam tiga tingkatan yakni:
1.      Tingkatan pertama maslahah dharuriyah
Maslahah dharuriyah ialah segala apek yang bersifat esensial bagi kehidupan manusia, dan karena itu wajib ada sebagai syarat mutlak terwujudnya kehidupan dan kemaslahatan manusia, baik ukhrawi maupun  duniawi.
2.Tingkatan kedua maslahah hajiyyah
Maslahah hajiyyah ialah segala yang menjadi kebutuhan primer (pokok) manusia dalam hidupnya, agar hidupnya bahagia dan sejahtera dunia akhirat serta terhindar dari kemelaratan. Jika kebutuhan ini tidak diperoleh maka kehidupan manusia mengalami kesulitan meskipun kehidupan mereka tidak sampai punah.
3.Tingkatan ketiga Maslahah Tasniyah
Yakni, suatu kebutuhan hidup yang sifatnya komplementer (sebagai pelengkap) dan lebih menyempurnakan kesejahteraan hidup manusia. Jika kemaslahatan ini tidak terpenuhi maka hidup manusia kurang indah dan kurang nikmat, kendatipun tidak sampai menimbulkan kemudharatan dan kebinasaan hidup.
Seperti telah dikemukakan, masing-masing dari enam perkara yang telah disebutkan sebagai tujuan pokok syariat pada asasnya dapat dilihat dari tiga sisi tersebut. Misalnya dalam aspek pemeliharaan agama, maka yang menjadi dharuriyah adalah aqidah atau kepercayaan kepada Tuhan. Tanpa aqidah yang benar maka agama tidak mungkin tumbuh dan berkembang, sebab tidak ada sarana sekali unsur agama yang dapat dikabulkan oleh Allah SWT tanpa aqidah tauhid. Sementara itu, guna memudahkan manusia menyalurkan naluri tauhidnya, maka diadakanlah oleh syariat sejumlah praktek ibadah ritual. Dalam ibadah itulah setiap manusia diharapkan akan semakin menghayati amal tauhidnya kepada Tuhan. Karena itu, jika tauhid diwajibkan maka dengan sendirinya ibadah yang mengatur kepada memperkokoh tauhid itupun turut serta situasi lainnya, ibadah seringkali dibolehkan bahkan dianjurkan untuk ditinggalkan. Lihat saja, mengapa seorang wanita haid dilarang bershalat dan berpuasa? Mengapa shalat dhuhur dapat digabung atau dikurangi rakaatnya dalam jama’ qashar. Semua itu disebabkan karena ibadah itu sangat relatif, artinya sangat terkait dengan tempat, waktu dan situasi. Dan sebagai pelengkap atau tahsisninya menyangkut agama ialah segala hal yang menjadi penunjang terlaksananya ibadah dan lebih menambah nikamatnya ibadah itu, misalnya thaharah.[3]
Mengenal tingkatan-tingkatan kemaslahatan dan karakteristiknya yang bersifat kully atau mutlak dan juz’iy atau nisbi (relatif) adalah sangat penting terutama dalam menetapkan hukum pada tiap-tiap perbuatan dan persoalan yang dihadapi manusia. Misalkan saja, memelihara jiwa itu bersifat dharuriy yang hukumnya mencapai derajat wajib lidzhati, karenanya hukum tersebut tidak  berubah kecuali jika diperhadapkan pada soal lain yang  sifat dharuriy-nya lebih tinggi, misalnya demi memelihara aqidah maka jiwa dapat saja dikorbankan. Sementara itu,  memelihara bersifat hajiyah, sehingga hukumnya hanya sampai pada derajat wajib lighayrih, dalam arti wajib karena terkait dengan persoalan lain, yakni ia terkait dengan persoalan hidup yang sifatnya dharuriyah.[4]
Selain itu menempatkan kehidupan bernegara sebagai cara hidup berjamaah adalah wajib secara dharuriyah, karena  hal ini pada posisi terpenting kedua sesudah pemeliharaan aqidah, maka syariat mengharuskan seseorang mengorbankan jiwanya demi membela bangsa dan negaranya. Dalam kaitannya dengan perlunya negara itu, haruslah ada seorang pemimpin dan lembaga-lembaga negara lainnya. Tetapi kedudukan lembaga-lembaga negara yang  mencakup pemimipin dan waliyul amri, tidak bersifat dharuriyah, tetapi hanya bersifat hajiyah, yang diperlukan guna memudahkan  terselenggaranya suatu jamaah (negara) dengan baik. Tanpa institusi-institusi itu, negara tidak dapat terselenggara dengan baik. Akan tetapi, karena sifatnya hanyalah hajiyyah, maka syariat tidak membenarkan adanya korban jiwa demi mempertahankan kedudukan seorang pemimpin.
Dari uraian-uraian di atas dapat difahami bahwa ketiga kemaslahatan di atas adalah dasar-dasar yang diperhatikan oleh syara’ dalam mengukur teori  maslahah mursalah, baik macam maupun tingkatannnya. Ketiganya perlu dibedakan sehingga seorang muslim dapat menentukan prioritas dalam mengambil suatu kemaslahatan. Dimana kemaslahatan dharuriyah harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan hajiyyah dan kemaslahatan hajiyyah lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyah.


[1] Nasrun harun, Ushul Fiqih (Cet. II: Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 115
[2] Hamka Haq, Falsafat Ushul Fiqih (Yayasan Al-Ahkam, Ujung Pandang: 1998), h. 76

[3]Hamka Haq, Falsafat Ushul Fiqih (Yayasan Al-Ahkam, Ujung Pandang: 1998), h.77
[4] Ibid, h.78