Menurut
Pakar Ekonomi Dunia (Pencetus teori informasi asimetris[1])
Joseph Stiglitz[2], Indonesia
adalah korban globalisasi (krisis moneter tahun 1997/1998), factor-faktor yang
terciptakan antara lain :
1.
Kesepakatan Investasi yang lebih melindungi kepentingan
Investor, hal ini menyebabkan
-
Kerusakan Lingkungan
-
Ketidak pastian buruh dalam mendapatkan hak-haknya
-
Kerugian Negara dalam bagi hasil, disamping
penyimpangan-penyimpangan dalam pembayaran bagi hasil ke Negara.
2.
Keterikatan Negara Indonesia
dengan Konsensus Washington[3]
sehingga terjebak dalam hutang, dengan
terbebani hutang yang banyak dapat menjadi sumber krisis keuangan lainnya lagi,
bahkan saat ini Indonesia
memiliki hutang sekitar dari Rp. 1.200 triliun.
Indonesia telah
terjerumus dalam liberalisasi pasar modal, sehingga terjadinya volatilitas
pasar, selain terjebak pada kebijakan privatisasi yang korup.
Argentina, yang juga terpukul krisis ekonomi dan
diperburuk kebijakan IMF, tetapi nenolak konsesnsus Washington, sehingga dengan pendekatan
kebijakan yang berbeda membuat hasil yang berbeda. Argentina berhasil mengatrol
pertumbuhan ekonomi rata-rata 8% per tahun setelah krisis. Semetara Indonesia jauh
dari angka rata-rata (7%) sebelum krisis.
Stiglitz
juga berpendapat bahwa “Tidak ada krisis asia”
melainkan gejolak pasar modal global saat itu, yang terpicu oleh krisis
subprime mortgage di AS[4].
Dia
juga merekomendasikan beberapa hal untuk Indonesia : (1) Pemerintah
Indonesia harus menjaga likuiditas di pasar domestic, (2) Menahan Investasi
dalam jangka pendek.
[1] Dalam bidang ekonomi, asimetri
informasi terjadi jika salah satu pihak dari suatu transaksi memiliki
informasi lebih banyak atau lebih baik dibandingkan pihak lainnya. (Sering juga
disebut dengan istilah informasi asimetrik/informasi asimetris). Umumnya pihak
penjual yang memiliki informasi lebih banyak tentang produk dibandingkan
pembeli, meski kondisi sebaliknya mungkin juga terjadi..
[2] Pemenang hadiah Nobel pada 2001.
[3] Konsensus Washington adalah paket
kebijakan generik yang disodorkan IMF dan Bank Dunia kepada Negara-negara yang
mengalami krisis, seperti yang dianjurkan IMF terhadap Indonesia pascakrisis 1997/1998.
Dengan terbebani hutang dan penambahan bunga akhirnya rakyat dituntut untuk bekerja
lebih keras untuk membayar hutang Negara
[4] Krisis Subprime
Mortgage Amerika Serikat (2001-2005) disebabkan oleh investor yang tidak
memperhatikan faktor fundamental portofolio yang dibelinya, dan penyaluran
kredit yang menyimpang dari prinsip 5 C (Character, Capacity, Collateral,
Condition, Capital).
Sejak 1995,
industri dotcom (saham-saham teknologi) di AS lebih dulu booming, namun kolaps
dan menyebabkan banyak perusahaan jenis ini tak mampu membayar pinjaman ke
bank. Untuk menyelamatkan mereka, The Fed menurunkan suku bunga, sehingga suku
bunga menjadi rendah. Suku bunga yang rendah dimanfaatkan pengembang dan
perusahaan pembiayaan perumahan untuk membangun perumahan murah dan menjualnya
melalui skema subprime mortgage.
Harga
rumah kredit melambung tinggi, bahkan ada yang sampai 100% dari nilai awalnya.
Akibatnya, RealtyTrac mencatat pengumuman lelang sebanyak 179.599 yang mencakup
2,5 juta rumah yang dinyatakan disita karena gagal bayar. Ini adalah jumlah
penyitaan terbanyak selama 37 tahun. Penyitaan besar-besaran ini jelas
menimbulkan banyak warga AS menjadi tuna wisma mendadak, dan menjadi masalah
sosial baru.