Menarik untuk mencermati pernyataan
sdr.Agustianto, MA Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia dan Dosen
Ushul Fiqh dan Fiqh Muamalah Ekonomi Pascasarjana UI dan IEF Trisakti
mengenai peran DPS (Dewan Pengawas Syariah), yang diposting di Scribd
tanggal 25 April 2009 menyatakan: “Kita sangat sedih melihat para ulama
dan ustadz yang secara tertulis dicantumkan
sebagai Dewan Pengawas
Syari’ah (DPS) di Bank Syari’ah, tetapi fungsinya jauh dari optimal.
Banyak di antara mereka yang tidak berperan sama sekali mengawasi
operasional perbankan syari’ah. Bahkan terkadang, meja saja tidak
diberikan kepada Dewan Pengawas Syari’ah tersebut.
Mencermati pernyataan tersebut diatas
kita merasa kecewa ternyata selama ini kinerja DPS belum bekerja
maksimal. Tentunya kita bertanya-tanya dalam hati apakah anggota DPS ini
memang tidak diberikan “meja” atau tidak difungsikan dan hanya sekedar
menjadi perhiasan ataukah memang dari faktor internal diri sendiri.
Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia ayat 2 dan 3 pasal 19 tanggal 12 Mei 1999, cukup jelas disebutkan bahwa : Bank wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berkedudukan di kantor pusat bank (Head Office). Persyaratan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah diatur dan ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional.
Ada beberapa perkara yang mesti dimasukkan dalam laporan DPS atau the shari’a supervisory board, yaitu:
Dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia ayat 2 dan 3 pasal 19 tanggal 12 Mei 1999, cukup jelas disebutkan bahwa : Bank wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah yang berkedudukan di kantor pusat bank (Head Office). Persyaratan sebagai anggota Dewan Pengawas Syariah diatur dan ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional.
Ada beberapa perkara yang mesti dimasukkan dalam laporan DPS atau the shari’a supervisory board, yaitu:
- title,
- addressee,
- opening or introductory paragraph,
- scope paragraph describing the nature of the work performed,
- opinion paragraph containing an expression of opinion on the compliance of the Islamic financial institution with Islamic shari’a rules and principles,
- date of report, and
- signature of the members of shari’a supervisory board.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya
menyangkut kondisi DPS di dalam lembaga keuangan syariah, menunjukkan
betapa masih lemahnya peran anggota DPS dalam mengawasi bank syari’ah,
sehingga sering kali terjadi penyimpangan syari’ah yang dilakukan
manajemen bank syari’ah. Faktanya antara lain seperti yang dilansir oleh
media massa, beberapa bank atau unit syariah ikut dalam kredit
sindikasi proyek dan akan memperoleh bunga atas pembiayaan tersebut per
tahun (baca Republika Online, 8/8/2002).
Padahal, transaksi apapun yang
menyerempet dengan bunga adalah suatu transaksi yang tidak dapat
dilakukan oleh suatu bank syariah. Meski, transaksi tersebut terpaksa
dilakukan dalam konteks (dharuri), karena pendapatan bunga yang
diperoleh tidak dapat dianggap sebagai pendapatan bank dan harus
didistribusikan untuk keperluan sosial. Bahkan, manajemen bank syariah
harus mengungkapkan dalam laporan keuangannya alasan dilakukannya
transaksi tersebut (AAOIFI Standard, 1998).
Bahkan menurut Agustianto ketika meneliti
dan menyaksikan secara langsung fakta penyimpangan tersebut setelah
melihat kontrak-kontrak (akad-akad) nya. Penyimpangan tersebut dilakukan
oleh bank syari’ah yang telah konversi total dari bank konvensional,
kepada syari’ah. Mereka yang berasal dari bank konvensional Penyimpangan
tersebut oleh saudara Agustianto kemudian disampaikan ke Dewan Syari’ah
Nasional di Jakarta, Dewan Pengawas Syari’ah Bank bersangkutan, juga
menyampaikannya ke Direktur Bank Indonesia di Jakarta, agar hal ini
tidak terulang kembali di masa depan. Yang cukup mengejutkan, ternyata
menurut laporan oknum di Bank Indonesia, kasus penyimpangan bank
syari’ah tersebut telah sering terjadi yang dilakukan oleh bank syari’ah
yang berasal dari bank konvensional.
Jika hal ini tersebut dibiarkan berlanjut dan publik mengetahui ini akan sangat merugikan tidak hanya terhadap Bank syariah tetapi para nasabah yang selama ini telah mempercayakan uangnya untuk diinvestasikan di bank-bank syariah karena akan timbul keragu-raguan apakah yang dilakukan selama ini sesuai dengan syari’ah. Padahal alasan nasabah untuk menabung di bank syari’ah lebih kepada faktor psikologis selain manfaat secara ekonomi juga amal ibadah.
Jika hal ini tersebut dibiarkan berlanjut dan publik mengetahui ini akan sangat merugikan tidak hanya terhadap Bank syariah tetapi para nasabah yang selama ini telah mempercayakan uangnya untuk diinvestasikan di bank-bank syariah karena akan timbul keragu-raguan apakah yang dilakukan selama ini sesuai dengan syari’ah. Padahal alasan nasabah untuk menabung di bank syari’ah lebih kepada faktor psikologis selain manfaat secara ekonomi juga amal ibadah.
Demikian pula, jika saja kondisi tersebut
terjadi di pusat bagaimana dengan di daerah-daerah dengan bermunculan
sekarang ini beraneka ragam Baitul-Baitul sebagai lembaga pembiayaan
keuangan dengan sejumlah macam produk-produk jasa keuangan mulai dari
kredit, simpan pinjam dsb. Pertanyaannya apakah mereka juga tidak lepas
dari pengawasan DPS .
Kedaan tersebut diatas lantaran DPS tidak
terlibat secara langsung dalam pelaksanaan manajemen lembaga keuangan
syariah, karena hal ini sudah menjadi tanggungjawab langsung di bawah
wewenang direksi suatu lembaga keuangan syariah, namun DPS berhak
memberikan masukan (input) kepada pihak pelaksana lembaga tersebut.
Sesuai Keputusan Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia No: 01 tahun 2000 tentang Pedoman Dasar Dewan
Syari’ah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (pd dsn-mui) Dewan Syariah
Nasional (DSN) dapat memberikan teguran kepada institusi keuangan
syariah jika suatu institusi tersebut telah menyimpang dari pedoman yang
telah ditetapkan oleh DSN, namun hal itu dilakukan setelah menerima
laporan dari DPS yang berada pada lembaga keuangan syariah tersebut.
Jika institusi keuangan syariah tidak mengindahkan teguran yang
diberikan oleh DSN, maka dapat diusulkan kepada institusi yang mempunyai
kuasa untuk memberikan sanksi, misalnya Bank Indonesia dan Departemen
Keuangan Republik Indonesia. Hukuman yang diberikan bertujuan agar bank
syariah tersebut tidak lagi melakukan berbagai tindakan yang tidak
sesuai dengan syariat Islam.
Demikian pula DSN dengan jelas berwenang
untuk memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi nama-nama
yang akan duduk sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syariah.
Pencabutan ini tentunya jika anggota DPS tidak melaksanakan tugasnya
sebagaimana yang diberikan oleh DNS, namun sejauh ini apakah upaya tegas
tersebut sudah dilakukan. Oleh karena itu DNS perlu melakukan sanksi
tegas dengan mencabut keanggotaan oknum DPS jika mereka tidak bekerja
optimal sebagaimana yang diharapkan.
Oleh karena itu saya mengajak kita semua
para pelaku perbankan agar marilah kita perbaiki dan benahi semuanya dan
lebih penting kepada agar fungsi sebagai DPS sebagai institusi yang
mengetahui sepak terjang manajemen bank syariah secara langsung baik
secara kelembagaan maupun personal agar lebih dioptimalkan.
Daftar Pustaka:
Sunandar, Heri. 2005. Peran dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah (Shari’a Supervisory Board) Dalam Perbankan Syariah di Indonesia Hukum Islam. Vol. IV No. 2 Desember 2005
Agustianto.2005. Optimalisasi Dewan Pengawas Syariah. http://www.sribd.com/doc/4685583/optimalisasi-dewan-pengawas-syariah-2-agustianto tanggal akses 2/12/2005
Hadi,Purwanto. Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 01 Tahun 2000.http://purwantohadi.multiply.com/journal/item/65/DEWAN_PENGAWAS_SYARIAH,tanggal akses 2/12/2005
Sunandar, Heri. 2005. Peran dan Fungsi Dewan Pengawas Syariah (Shari’a Supervisory Board) Dalam Perbankan Syariah di Indonesia Hukum Islam. Vol. IV No. 2 Desember 2005
Agustianto.2005. Optimalisasi Dewan Pengawas Syariah. http://www.sribd.com/doc/4685583/optimalisasi-dewan-pengawas-syariah-2-agustianto tanggal akses 2/12/2005
Hadi,Purwanto. Keputusan Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia No: 01 Tahun 2000.http://purwantohadi.multiply.com/journal/item/65/DEWAN_PENGAWAS_SYARIAH,tanggal akses 2/12/2005