Beberapa
prinsip/hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain:[1]
1. Pembayaran terhadap pinjaman dengan
nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak
diperbolehkan.
2. Pemberi dana harus turut berbagi
keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam
dana.
3. Islam tidak memperbolehkan
“menghasilkan uang dari uang”. Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan
komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
4. Unsur Gharar (ketidakpastian,
spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik
hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
5. Investasi hanya boleh diberikan pada
usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya
tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Dalam
surah Al-baqarah ayat 275 dikatakan : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba
tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan
lantaran (tekanan) penyakit gila Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan
riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus
berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya
dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya.”
Begitu
juga didalam surah Ar-Rum ayat 39 Allah mengatakan : “Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian)
itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya)”
[1] Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan
Lembaga-Lembaga Terkai (BAMUI dan Takaful) di Indonesia. Jakarta,1997 Hal 127