Waqaf Uang

Salah satu bentuk wakaf yang bersifat produktif adalah dengan cara berwakaf dengan uang (cash wakaf, waqf al-nukud).

Penting untuk diketahui, terkait dengan salah satu syarat wakaf adalah diharuskan berbentuk benda (konkrit), sebagian orang berpendapat bahwa uang dapat dijadikan sebagai objek wakaf, meskipun hal ini masih menjadi perdebatan di antara pakar fiqih. Salah satunya adalah Juhaya S. Praja yang berpendapat bahwa uang boleh dijadikan objek wakaf.[1] Oleh karena itu, ulama di pakistan, Abdul Manan, sudah membolehkan adanya wakaf uang dengan istilah cash waqf (yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi wakaf tunai).
Jauh sebelumnya, Imam al-Ghazali pada abad ke 11-12, telah memperingatkan bahwa memperdagangkan uang ibarat memenjarakan fungsi uang, jika banyak uang yang diperdagangkan, niscaya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai alat tukar. Dalam konsep Islam, uang tidak termasuk dalam fungsi utilitas karena manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu secara langsung, melainkan dari fungsinya sebagai perantara untuk mengubah menjadi barang yang diperlukan. Dampak berubahnya fungsi uang dari sebagai alat tukar dan satuan nilai menjadi komoditi dapat kita rasakan sekarang, yang dikenal dengan teori Bubble Gum Economic.
Oleh sebab itu, penggunaan uang sebagai pengganti benda untuk diwakafkan bukanlah berarti uang tersebut bertindak sebagai objek wakaf, melainkan uang tersebut bertindak sebagai alat tukar yang segera akan ditukarkan menjadi suatu benda konkrit yang secara syar’i memenuhi kriteria wakaf.
Wakaf uang ini di masyarakat sebenarnya telah lama dipraktikkan, namun dalam akadnya tetap disebutkan sebagai wakaf tanah. Misalnya untuk mendirikan sebuah mesjid direncanakan akan membeli tanah pertapakan seluas 1000 meter dengan harga Rp100 juta. Tanah seluas 1000 meter tersebut dibagi menjadi 1000 kapling, sehingga diperoleh harga Rp100 ribu per kapling. Selanjutnya ditawarkan kepada umat Islam yang berminat untuk berwakaf dengan membayar uang sebesar kelipatan harga kapling tersebut. Dana yang terkumpul akan digunakan oleh panitia untuk pembebasan tanah pertapakan tempat dibangunnya mesjid tadi. Realitas tersebut, meskipun akadnya dilakukan dalam bentuk wakaf tanah, namun yang diserahkan wakif adalah dalam bentuk uang tunai.
Wakaf uang ini telah mendapat respons positif dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), yaitu dikeluarkannya fatwa tentang diperbolehkannya wakaf uang (waqf al-nuqud) pada tanggal 11 Mei 2002, dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Dasar pertimbangan MUI mengeluarkan wakaf tersebut adalah:
1.     Q.S. Ali Imran ayat 92, yang artinya:
“Kamu sekalian tidak sampai kepada kebajikan yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
2.     Q.S. Al-Baqarah ayat 261-262, yang artinya:
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, Allah melipatgandakan (ganjaran) seratus biji pada tiap-tiap bulir bagi siapa yang Dia kehendaki dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) dan lagi Maha Mengetahui.
3.     Hadist Nabi Muhammad saw, yaitu:
a.  Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah bersabda: “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah (pahala) amal perbuatannya kecuali tiga hal”, yaitu shadaqah jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan, anak yatim yang shalih yang mendo’akannya (H.R. Muslim, al-Tharmidzi, al-Nasa’i, dan Abu Daud).
b.  Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., bawa Umar bin Khattab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi saw untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut, ia berkata: “Wahai Rasulullah, saya memperoleh tanah di Khaibar, yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, apa perintah engkau (kepadaku) mengenainya?”. Nabi saw menjawab, “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasilnya)”. Ibnu Umar berkata, maka Ibnu Umar menyedekahkan tanah tersebut (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak dihibahkan, dan tidak diwariskan). Ia menyedekahkan kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, inu sabil, dan tamu. Tidak berdosa dari orang yang mengelola untuk memakan dari (hasil) tanah itu secara ma’ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik. Rawi berkata, saya menceritakan hadist tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu ia berkata ”ghaira mutaatstsilin malan” (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik). (H.R. Al-Bukhari, Muslim, al-Tharmidzi, al-Nasa’i).
c.   Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a., ia berkata Umar bin Khattab r.a. berkata kepada Nabi Muhammad saw, saya mempunyai seratus tanah (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapat harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu, saya bermaksud menyedekahkannya”. (H.R. al-Nasa’i).
4.     Pendapat para ulama:
a.  Pendapat Imam Al-Zuhri (w.124 H)
Bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan kepada mauquruf a’laih /yg menerima wakaf (Abu Su’ud Muhammad,tt).
b.  Mutaqaddimin dari ulama Mazhab Hanafi (Al-Zuhaili, 1985: 162) membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar istihsan bi al-‘Urfi berdasarkan atsar Abdullah bin Ma’ud r.a.: “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslim maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslim dalam pandangan Allah pun buruk.”
c.   Pendapat sebagian ulama As-Syafi’i:
Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam As-Syafi’I tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang). Al-Muwardi, 1994).
Di samping itu, pemerintah Indonesia telah menetapkan UU No.41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan UU No.41 Tahun 2004.
Pengelolaan dana wakaf tunai sebagai alat untuk investasi menjadi menarik, karena faedahnya atau keuntungannya atas investasi tersebut dalam bentuk keuntungan yang dapat dinikmati masyarakat di mana saja (loka, regional, maupun internasional). Hal ini dimungkinkan karena faedah atas investasi tersebut berupa uang tunai yang dapat dialihkan ke manapun, dan tanpa dibatasi oelh perbedaan negara. Hal inilah yang diharapkan mampu meningkatkan keharmonisan antara masyarakat kaya dan miskin.
Wakaf uang ini dapat dilaksanakan dengan berbagai cara, yaitu:
1.     Wakaf uang secara langsung, yaitu dengan cara: (a) wakaf permanen, dan (b) wakaf berjangka (wakaf Mu’aqqat). Wakaf pernmanen artinya uang yang diserahkan wakif akan menjadi wakaf selamanya dan tidak dapat ditarik kembali oleh wakif. Wakaf berjangka yaitu wakaf yang diserahkan wakif hanya bersifat sementara, setelah lewat waktu tertentu, uang dapat ditarik kembali oleh wakif. Dengan demikian, yang diwakafkan di sini adalah hasil investasinya saja, lazimnya wakaf berjangka nominalnya relatif besar.
2.     Wakaf saham. Selain wakaf dalam bentuk uang, yang dapat dikategorikan sebagai wakaf uang adalah wakaf dalam bentuk saham. Saham adalah tanda penyertaan modal pada suatu entitas. Manfaat yang diperoleh dari wakaf saham ini adalah berupa dividen (keuntungan yang didibagikan perusahaan kepada pemegang saham). Peraturan Pemerintah No.41 Tahu 2006 juga menetapkan objek wakaf selain uang adalah obligasi syariah (dalam bentuk obligasi mudharabah, obligasi ijarah, dan emisi obligasi syariah) dan SBSN (SBSN dalam bentuk akad ijarah, mudharabah, musyarakah, isthisna, dan SBSN dua akd atau lebih).
3.     Wakaf takaful. Wakaf ini dilaksanakan dengan pola asuransi takaful. Misalnya seseorang bermaksud berwakaf sebesar Rp100 juta, kemudian yang bersangkutan mengadakan akad dengan perusahaan asuransi syarish, dengan ketentuan akan dibayar secara periodik selama 10 tahun. Seandainya sebelum jatuh tempo si wakif meninggal dunia, pada saat itu perusahaan asuransi membayar wakaf si wakif kepada nazhir yang ditunjuk wakif.
4.     Wakaf pohon. Dilaksanakan dengan pola mewakafkan sejumlah tanaman pohon tertentu (pohon kelapa, pohon kelapa sawit, pohon karet, pohon jati, dsb) kemudian uang hasil penjualan komoditi tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan umum. Wakaf pohon ini sudah diterapkan masyarakat di beberapa tempat seperti di daerah Asahan, Sumatera Utara.


[1] Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia : Sejarah Pemikiran Hukum dan Perkembangannya, (Bandung: Yayasan Piara, 1993), hal. 13