Hukum-hukum syariah didasarkan atas kenyamanan,
keringanan dan menghilangkan kesulitan dari masyarakat. Syariah telah
memperhatikan keadaan khusus di mana suatu penderitaan harus diatasi dalam
rangka menyediakan kemudahan bagi mereka yang berada dalam kesulitan.[1]
Kaidah ini menyatakan bahwa dalam kasus tertentu,
demi menjaga kepentingan dasar dan kebutuhan masyarakat, hukum asal yang ketat,
yang menyebabkan kesulitan yang sulit dibayangkan dapat diringankan. Dalam
keadaan mendesak, keluasaan diperbolehkan. Dan kaidah ini mencakup semua keadaan yang memerlukan suatu konsensi hukum
dari hukum asalnya, agar pemenuhan kewajibaan dapat terlaksana dan dalam
kapasitas seorang manusia normal.[2]
Kaidah ini dapat juga diterapkan pada semua konsensi
hukum yang didasari oleh sebab-sebab seperti perjalanan, sakit, tekanan,
kelalaian, kesulitan umum (‘umum
a-balwa), cacat fisik dan lupa. Secara umum, kaidah ini membolehkan keringanan
dari aturan asal dalam kasus darurat dan kebutuhan (hajat).[3]
Kaidah ini meliputi : Keadaan darurat dan kebutuhannya serta keadaan Hajat
(kebutuhan) dan akibatnya.
Keadaan darurat terbagi menjadi dua yaitu :
1. Darurat dalam pengertian khusus; merupakan suatu kepentingan esensial
yang jika tidak dipenuhi, dapat menyebabkan kesulitan yang dahsyat yang membuat
kematian. Untuk mengilustrasikan hal ini, dapat diambil contoh
daging babi yang dilarang bagi seseorang muslim untuk memakannya. Jika
seseorang yang sekarat karena kelaparan mengikuti larangan ini dan menjaga diri
dari tidak memakan babi atau bangkai, dia bisa mati kelaparan. Jadi memakan
babi bagi seorang yang sekarat karena kelaparan dibolehkan atas dasar kebutuhan
yang mendesak.[4]
2. Darurat dalam pengertian umum ini pengertiannya lebih luas merujuk pada
suatu yang esensial untuk melindungi dan menjaga tujuan-tujuan syariah. Dapat
diamati bahwa perhatian utama dari defenisi darurat menurut Syatibi adalah
untuk melindungi tujuan-tujuan dasar syariah, yaitu :
a. Menjaga dan melindungi agama,
b. Menjaga dan melindungi nyawa,
c. Menjaga dan melindungi keturunan,
d. Menjaga dan melindungi akal,
e. Menjaga dan melindungi kesehatan,
f. Menjaga dan melindungi kemuliaan serta kehormatan
diri.
Jadi, menurut defenisi
ini, segala sesuatu yang membantu merealisasikan tujuan-tujuan dasar syariah
ini adalah darurat. Dan darurat harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut
yaitu :
a. Darurat harus nyata, bukan spekulatif dan imajinatif
b. Tidak ada solusi lain yang ditemukan untuk mengatasi penderitaan kecuali
keringanan itu
c. Solusi harus tidak menyalahi hak-hak sakral yang memicu pembunuhan,
pemurtadan, perampasan harta atau bersenang-senang dengan sesama jenis kelamin
d. Harus ada justifikasi kuat melakukan keringanan
e. Harus benar-benar hanya itulah solusi yang tersedia
3. Keadaan Hajat dan Akibatnya. Sama dengan darurat yaitu hajat yang
menerapkan keringanan terhadap hukum asal dan memberikan alasan untuk berbeda
darinya. Hajat terdiri dari dua jenis, hajat
amah dan hajat khassah. Syatibi mendefenisikan hajat sebagai suatu
kepentingan yang kalau dipenuhi akan menghilangkan kesusahan dan kesulitan, dan
kalau tidak dipenuhi akan membuat hilangnya tujuan-tujuan yang dimaksud. Jadi,
jika jenis kepentingan ini tidak dipenuhi, maka segala sesuatu yang terkait
dengan aturan-aturan syariah pada umumnya akan mengalami kesulitan dan
kesusahan, tapi hal ini tidak dianggap sebagai penyebab kekacauan yang
diprediksi sebagai hasil dari tidak terpenuhinya kepentingan yang esensi ini.
Contoh kebutuhan yang selangkah lebih maju dari derajat kebutuhan adalah
bolehnya kontrak salam ( pembelian barang dengan uang di muka dan pengiriman
barang belakangan ), Istisna’ (kontrak memproduksi suatu barang atas
dasar pesanan), bay’ bil wafa’ (penjualan dengan hak penebusan),
pinjaman, ijarah dan lain-lain.
[1] Muhammad
Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor:
Ulul Albab Institut, 2010), hal 75
[2] Ibid. hal 76
[3] Ibid. hal 77
[4] Ibid. hal 79