Ketentuan-ketentuan
ini pada umumnya berfungsi sebagai tindakan pencegahan terhadap kemungkinan
terjadinya mudarat dan mencegah mudarat itu sebelum terjadi. Dan beberapa
penerapan kaidah ini adalah sebagai berikut :
1.
Hukum Pencegahan (Hajr)
Hukum Islam telah membuat
batasan-batasan terhadap muatan-muatan akad dari suatu pihak yang memiliki
karakter membahayakan orang lain dan batasan-batasan terhadap transaksi yang kemungkinkan
besar membahayakan orang lain. Tindakan mencegah seseorang dari transaksi
tersebut disebut hajr dalam hukum Islam. Hajr adalah mencegah orang tertentu dari menyia-nyiakan hartanya.
Hukum pencegahan diwajibkan syariah untuk menyelamatkan hak dan kepentingan masyarakat
yang diakibatkan oleh karakter orang-orang tertentu.[1]
Alasan-alasan penting dari pencegahan tersebut adalah :
a.
Safah atau pemborosan dalam hukum Islam merujuk pada
penyalahgunaan harta seseorang yang berlawanan dengan akal dan syariah dengan
cara menghabiskannya tanpa tujuan yang benar atau menggunakan harta secara
berlebihan di luar kebutuhan meskipun realitasnya rasional bagi orang tersebut.
b.
Orang
yang mengalami penyakit yang mematikan dilarang melakukan transaksi atas
seluruh harta yang dimilikinya karena dia harus memikirkan kepentingan ahli
warisnya. Sebagai contoh transaksi searah yang dilakukannya adalah memberikan
donasi, waqaf, infaq dan sedekah yang hanya dibatasi pada sepertiga dari
hartanya. Dan jika dia mempunyai hutang maka dilarang melakukan donasi karena
harta yang ditinggalkannya itulah sebagai pembayar hutangnya kelak. Dan untuk
transaksi dua arah (timbal balik) maka terlarang untuk membatalkannya karena
kepentingan sang pasien lebih utama daripada kepentingan ahli waris.
c.
Orang
yang telah dinyatakan bangkrut oleh pengadilan maka terlarang baginya untuk
mempergunakan hartanya karena hartanya itu adalah untuk melindungi hak kreditor
(pemberi piutang) dan mencegah membuat transaksi yang membahayakan kreditor.
2.
Law of
Pre-emption
Tujuan utama mengakui hak pre-emption
adalah untuk menhindari berbagai bahaya yang dapat terjadi pada pemilik atau
tetangga dengan masuknya orang ketiga dari luar. Hak Pre-Emption
mempunyai dasar justifikasi :
a.
Kesulitan
dan ketidaknyamanan dari suatu kepemilikan bersama lebih dipentingkan daripada
pembeli asing (pihak luar) dan merelakan orang asing masuk boleh jadi membuat
partner kita meninggalkan hartanya karena ketidaknyamanannya.
b.
Konsepsi
demokrasi dalam hukum waris cenderung untuk membagi-bagi harta keluarga maka
hak pre-emption untuk mencegah kejahatan yang timbul karena
membagi-bagikan harta tersebut.
c.
Sharaya-ul-Islam dimana pembagi-bagian akan menyebabkan kerugian dan
kerusakan.
d.
Hedaya adalah memberikan hak untuk mencegah ketidaknyamanan yang
timbul
3.
Melanjutkan
Kontrak Bagi Hasil Sampai Masa Panen Tiba
Kontrak tersebut tetap berlanjut walau salah satu atau kedua
belah pihak meninggal dunia. Hal ini untuk mencegah terjadi kemudaratan.
4.
Kewajiban
Pekerja Tempahan
Bahwa para pekerja tetap harus memenuhi kewajibannya sampai
pekerjaan selesai dan wajib mengganti apabila terjadi kerusakan.
5.
Penalti/denda
atas gagal bayar dalam pembiayaan Murabahah
Untuk mencegah atau menghilangkan kemudharatan ada beberapa
ketentuan yaitu : pertama; Khiyar al-‘ayb (hak untuk membatalkan kontrak
karena barangnya cacat), kedua; Khiyar al-gabn (hak untuk membatalkan
kontrak karena penipuan), ketiga; Penghentian kontrak karena beberapa keadaan.
[1] Muhammad
Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor:
Ulul Albab Institut, 2010), hal 47