Dalam
melakukan kerjasama atau transaksi hendaklah kita mulai dengan niat yang baik.
Apabila niat itu selaras dengan niat Allah atas transaksi itu maka perbuatan
tersebut menjadi sah, tetapi apabila niat itu tidak selaras dengan niat Allah
maka perbuatan tersebut tidak sah.
Niat
dan motivasi menentukan sifat dasar yang sebenarnya dari suatu akad, disamping
menentukan status hukum dalam hal sah atau tidak sahnya suatu perbuatan.
Sehingga ketika suatu hadiah atau donasi yang diberikan bertentangan dengan
beberapa ketentuan maka akad itu akan berubah menjadi akad jual-beli dan bukan
lagi akad hadiah walaupun namanya Hadiah atau Donasi. Begitu juga dengan akad hawalah
(pendelegasian hutang). Jika orang yang berhutang masih memliki kewajiban untuk
melunasi hutangnya disamping orang yang menggantinya, maka akad tersebut jatuh
pada akad Kafalah meskipun nama akadnya Hawalah. Sama halnya
dalam kerjasama Mudharabah jika ada ketentuan yang menyatakan bahwa
pihak yang menyediakan modal akan memperoleh semua keuntungannya maka akad itu
disebut Mudharabah tapi akad hutang.[1]
Sebagai
contoh dari suatu kontrak ditentukan oleh tujuan dan maksud kontrak tersebut
adalah giro di bank komersial. Para ulama kontemporer memperlakukan giro
sebagai suatu kontrak hutang daripada kontrak wadiah atau amanah
disebabkan karena kontrak wadiah harus memenuhi syarat bahwa sebagai
titipan di tangan orang yang dipercaya dengan tujuan menjaga keamanan dan tidak
ada keharusan suatu kewajiban atau misalnya apabila barang yang dititipkan itu
rusak bukan karena kecerobohan maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya,
kemudian adalah bahwa titipan tersebut tidak dapat dipakai oleh orang yang
menerima amanah tersebut. Tetapi apabila barang wadiah tersebut dipakai
oleh si pemegang amanah dengan seizin yang punya maka kontrak wadiah
berubah menjadi kontrak hutang, kontrak agensi atau kontrak kerjasama.
Dan
bagaimana dengan giro pada di Bank Syariah ? Ternyata hal yang ditemukan adalah
sangat kontras dari prinsip Wadiah yakni sebagai berikut :
1.
Bank Syariah menggunakan uang yang dititipkan
dan tidak berlaku dalam kasus Wadiah.
2.
Bank Syariah mencampur adukkan uang titipan itu
dengan tabungan yang lain.
3.
Bank Syariah selalu menjamin pengembaliannya
dengan aman, atau bank menanggung semua kewajiban dan resiko terkait uang yang
dititipkan.
4.
Bank Syariah tidak mengembalikan uang yang sama
tetapi uang lain dalam jumlah yang sama.
Oleh karena giro membentuk hubungan pemberi
hutang dan penghutang antara nasabah dan bank maka tidak dibolehkan bagi bank
untuk memberikan layanan ekstra kepada nasabah karena hal itu dihitung sebagai
Riba. Hal ini telah dilarang dalam suatu prinsip yang terkenal : ‘Setiap hutang
yang memberikan manfaat adalah Riba”. Dalam konteks transaksi hutang, uang jasa
yang diberikan kepada pemberi hutang dapat membuka pintu untuk riba. Jadi atas
dasar prinsip Sadd al-dara’i (Menutup segala cara yang membuka pintu
kemungkaran) hal ini harus dihindari.
Beberapa kontrak yang tidak dibenarkan adalah
sebagai berikut :
1.
Bay’ al Inah; adalah menjual barang
secara kredit dengan harga tertentu dan kemudian membelinya kembali secara
kontan dengan harga yang lebih murah dari harga kredit, di mana kedua transaksi
terjadi pada waktu yang bersamaan.
2.
Tawaruq; adalah suatu transaksi
di mana seorang yang membutuhkan uang membeli suatu barang secara kredit dari
orang tertentu dan kemudian menjualnya ke pasar secara kontan dengan harga di
bawah harga beli sebelumnya dari pemilik barang.
3.
Bay’ bil Wafa; merupakan transaksi di
mana seseorang yang membutuhkan uang menjual suatu barang kepada pembeli dengan
syarat kapan saja si penjual mau maka si pembeli tadi harus mengembalikan
barang yang dibelinya kepadanya dengan harga pembelian semula.
4.
Hiyal; alat/strategi hukum yaitu menghilangkan
hak atau menguatkan yang salah yang pada sisi lain selalu digunakan dengan niat
dan tujuan untuk menghindari larangan syariah.
5.
Sadd Al-Dara’i; mencegah
atau menutup proses yang tujuannya haram atau dilarang yang sebenarnya
merupakan pencegahan suatu kemungkaran sebelum terjadi. Persoalan niat untuk
memperoleh hasil tertentu tidak dapat menimbulkan hasil tersebut
[1] Muhammad
Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor:
Ulul Albab Institut, 2010). hal 23