Makna Islam, Islami dan Islamisasi

Ada dua cara yang dapat dipergunakan dalam melihat apakah makna Islam, etimologi dan terminologi. Secara etimologi (bahasa) islam berasal dari bahasa Arab, dengan akar kata salima yang berarti selamat,
sentosa dan damai. Dari kata salima ini kemudian diubah menjadi kata aslama yang berarti berserah diri dan masuk dalam kedamaian.[1] Sedangakan kata islam itu sendiri merupakan bentuk mashdar dari kata aslama, yang berarti memelihara dalam keadaan selamat, menyerahkan, menyerahkan diri,  tunduk, patuh dan taat. Lalu bentuk subjek dari kata kerja aslama ini adalah muslim yang berarti orang yang tunduk, yang patuh, yang menyerahkan diri.[2]
Harun Nasution berpendapat bahwa makna islam ditinjau dari segi kebahasaan berdekatan artinya dengan agama, yaitu menguasai, menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.[3] Senada dengan itu Nurcholish Madjid berkesimpulan bahwa sikap pasrah kepada tuhan merupakan hakikat dari pengertian Islam.[4]
Sedangkan Islam menurut terminologi adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan tuhan kepada manusia melalui Muhammad. Islam pada hakikatnya tidak hanya mengatur satu sisi kehidupan manusia akan tetapi berbagai sisi dalam kehidupan manusia tersebut.[5] Adapun Arkoun, seorang guru besar studi Islam, membantah pemaknaan Islam yang dinterpretasikan oleh banyak kalangan dengan mengambil terjemahan kedalam bahasa Prancis dengan arti “tunduk dan patuh”.  Menurutnya ada hal lain yang tidak hanya tunduk dan patuh yang harus dimuat oleh kata Islam secara terminologi, tetapi juga merasakan getaran cinta kepada Allah SWT dan rasa ingin menyandarkan diri kepada semua yang diperintahkanNya.[6]
Bila Islam dipahami dari segi ontologi, maka hakekat Islam adalah seperangkat ajaran yang bersumber dari Allah swt. Ajaran ini kemudian berimplikasi kepada munculnya perintah dan larangan yang harus ditaati oleh pengikutnya. Sedangkan Islam menurut kaca amta epistemologi adalah Islam sebagai ilmu. Islam memang mempunyai banyak aspek yang bisa melahirkan disiplin ilmu berbeda, seperti hukum, seni, dan sebagainya. Dari aspek-aspek inilah kemudian muncul beberapa institusi ataupun aplikasi Islam dalam kehidupan sehari-hari, atau yang disebut Islam aksiologi. Beberapa contoh dari Islam aksiologi adalah sepeti bank syari’ah, kaligrafi dan lain sebagainya.
Pelaku dari Islam, yakni Muslim, secara etimologis berarti orang Islam atau penganut agama Islam.[7] Sementara Arkoun memaknai Muslim secara etimologis adalah orang yang menyerahkan dirinya. Sedangkan secara terminologis, menurut beliau, adalah orang yang melakukan penyerahan diri dan komitment wujudnya kepada tuhan dan nabiNya secara sukarela.[8]
Hal yang menyangkut dengan sifat ke-Islaman adala Islami artinya adalah hal yang telah disifatkan dengan Islam dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan istilah tersebut baik dalam pelaksanaan kehidupan sehari-hari ataupun dalam dunia ilmu pengetahuan.
Menurut Marshall Hodgson, bahwa akan banyak terjadi kekeliruan dengan menggunakan kata Islami secara bebas dan luas. Oleh karena itu menurutnya, bahwa kata yang bersifat Islam yakni Islami haruslah hal-hal yang berbau agama Islam itu sendiri, sedangkan hal-hal yang bercorak ke-Islaman tidak bisa dikatakan sebagai Islami, karena penggunaan term ini dalam kajian yang krusial akan membawa pada kesimpulan yang kurang benar. Beliau menyajikan dua istilah berbeda untuk menghindari kesalahan yang sering dilakukan oleh para sarjanawan, Islami, Islamis (Islamic) dan Islamicate yang berarti bercorak ke-Islaman.[9] Seperti dalam studi sastra, istilah “sastra Islam, sastra Islami” menunjukkan sastra itu berisi pesan-pesan religius seperti yang terdapat pada banyak karya Jalaluddi Rumi, sedangkan sastra seperti Laila Majnun haruslah diistilahkan dengan sastra bercorak Islam (Islamicate Literature), karena kandungannya hanyalah cerita percintaan romantis Laila, tapi karena novel ini ditulis oleh orang muslim jadilah ia bernama sastra bercorak Islam.
Memang memahami dan merumuskan makna Islam dalam kajian ilmiah sangatlah penting. Para sarjanawan Eropa seperti yang dicatat oleh Marshall Hodgson telah melakukan kesalahan yang sangat fatal dalam kajian mereka, yang semuanya berangkat dari kesalahan merumuskan apakah itu Islam. Sebagai contohnya saja, para sarjanawan Eropa pada abad sebelum 18, banyak merumuskan Islam seperti yang terdapat di Istanbul saja, ada yang merumuskan Islam seperti pengamalan di India saja, ada yang merumuskan Islam sebagai budaya Arab dan lain sebagainya.[10]
Dunia Islam pada era awal abad ke-dua puluh mengalami masa-masa yang sangat tragis dengan ditandai oleh kemajuan yang dicapai dunia Barat yang nota-bene mayoritas penduduknya adalah non-muslim, kemajuan ini khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Masa tragis ini mencapai puncaknya ketika dunia Eropa melakukan penjajahan kebeberapa negara, termasuk negara-negara Muslim. Negara-negara Barat tidak hanya menjajah fisik, tapi juga bidang intelektual. Dari fakta inilah kemudian para generasi penerus bangsa-bangsa muslim mencoba bangkit dengan mencari sebab-sebabnya, terutama ketertinggalan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perpecahan antar sesama muslim.
Untuk tujuan tersebut, muncul ide dan gagasan dari berbagai pakar untuk mengislamisasikan ilmu pengetahuan yang diasumsikan berasal dari Barat. Namun pertentanganpun terjadi di sekitar soal apakah ilmu pengetahuan itu dapat di-Islamisasikan? Mengingat antara ilmu pengetahuan yang berlaku di Barat sangat berbeda paradigma dengan Islam. Secara umum, ilmu pengtahuan dikenal bersifat objektif, spekulatif, empiris, rasional, sedangkan agama bersifat mutlak, subjektif, tidak terbatas, keyakinan, normatif dan serba pasti. Pertanyaan yang mendasar yang muncul kemudian adalah “apakah mungkin menyatukan dua paradigma yang berbeda tersebut?”.
Muhammad Arkoun mengatakan bahwa keinginan para cendikiawan muslim untuk meng-Islamisasikan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah suatu kesalahan besar, sebab hal tersebut akan menjebak kita dalam ide bahwa Islam hanyalah semata-semata sebuah ideologi.[11] Senada dengan itu Usep Fathuddin berpendapat bahwa Islamisasi ilmu bukanlah kerja ilmiah, sebab yang dibutuhkan oleh ummat adalah mengusai ilmu dan mengembangkannya, sedangkan Islamisasi hanyalah sebuah kerja kreatif atas karya orang lain.[12]
Sementara itu ada juga kelompok ilmuwan yang mendukung gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan. Salah satunya adalah Mulyanto yang berbendapat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan adalah penerapan etika-etika Islam dalam ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata lain Islam hanya berlaku sebagai etika-etika ke-agamaan di luar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi dasarnya adalah ilmu pengetahuan adalah bebas, maka konsekuensi logisnya adalah mustahil muncul ilmu pengetahuan Islami.[13]
Terlepas dari pro dan kontra pendapat para ilmuwan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan, kita sebagai sarjanawan muslim yang hidup pada masa sekarang hendaklah bisa menampilkan realitas keilmuan yang ideal, yakni dengan memahami Islam secara komprehensif, melalui metode penerapan dan tekhnik studi Islam yang aplikatif.



[1] Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002), hal. 655. lihat juga Nashruddin Razak, Dien al-Islam (Bandung: al-Ma’rif, 1977) hal. 56.
[2] Maulana Muhammad Ali, Islamologi (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1980) hal. 2.
[3] Harun Nasution, Islam Ditijnau Dari Berbagai Aspekny (Jakarta: UI Press, 2001) jil. I, hal. 3.
[4] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, Sebuah Telaah Kritis Tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan Dan Kemodernan (Jakarta: Paramdina: 1992) hal. 426.
[5] Harun, Islam Ditinjau, hal. 7.
[6] Suadi Putro, Muhammad Arkoun Tentang Islam Dan Modernitas (Jakarta: Paramadina, 1998) hal. 30.
[7] Pius A. Partanto dan M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola, 2001), hal. 30.
[8] Putro, Muhammad Arkoun, hal. 30.
[9] Marshall Hodgson, The Venture of Islam (Chicago: Chicago University Press, 1974), jil. I, hal, 23.
[10] Ibid.
[11] Muslih Usa (ed), Pendidikan Islam di Indonesia (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hal. 5.
[12] Usef Fathuddin, Perlukah Islamisasi Ilmu? (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), hal. 51.
[13] Mulyanto, Islamisasi Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 2000), hal. 51.