Qawaid
Fiqhiyyah
(kaidah-kaidah fiqh) atau kaidah-kaidah hukum Islam menempati posisi yang
sangat penting dalam literatur Hukum Islam. Ia merupakan bentuk khusus
literatur Hukum yang berkembang pada abad ke 13 hingga abad ke 15,
yang mencoba
meringkas aturan-aturan dari setiap mazhab ke dalam ringkasan-ringkasan pendek
sehingga orang yang mempelajari kaidah-kaidah ini dapat dengan mudah
menghafalnya. Dalam bentuk ekstrim, begitu ringkasnya satu mazhab dapat
direduksi menjadi empat atau lima pernyataan padat.[1]
Sedangkan
definisi dari Qawaid Fiqhiyyah dapat kita temukan dari pandangan para
ulama fiqh yang terkenal dan di antaranya adalah : Syekh Mustafa Ahmed Zarqa
seorang ulama fiqh terkemuka mendefinisikan qawaid fiqhiyyah sebagai :
“Prinsip-prinsip fiqh universal yang dirumuskan ke dalam bentuk hukum yang
padat, melambangkan ketentuan-ketentuan umum terhadap kasus-kasus yang berada
di bawah topik-topik tertentu”.[2]
Ali Hayder, seorang yang terkenal karena uraiannya (syarahnya) terhadap Al-Majallah
telah mendefinisikannya sebagai : ”Aturan menyeluruh atau utama yang dibutuhkan
untuk mengetahui hal-hal khusus”.[3]
Salim Rustum Baz, pensyarah Majallah lainnya telah mendefinisikannya
sebagai : “Aturan menyeluruh atau utama yang dapat diterapkan pada semua atau
sebagian besar kasus-kasus khusus”.[4]
Muhammad Anis Ubadah menawarkan bahwa “Qawaid Fiqhiyyah adalah konsep
universal di mana ketetapan-ketetapan dari berbagai perkara hukum yangb berada
di bawah konsep universal tersebut diturunkan”.[5]
Penulis kontemporer lainnya mendefinisikan Qawaid Fiqhiyyah sebagai
“suatu prinsip umum di mana ketentuan-ketentuan khusus dapat langsung
diketahui”.[6]
Sementara
itu fungsi utama dari ilmu Qawaid Fiqhiyyah dari seluruh aturan-aturan
yang universal dan menyeluruh tersebut diidentifikasi, dikonsolidasi dan
dikelompokkan menjadi aturan-aturan yang tematik atau sesuai dengan fungsi
masing-masing aturan itu sebenarnya atau dengan kata lain aturan yang sifatnya
umum bisa dikhususkan untuk topik-topik tertentu.
Sedangkan status hukum Qawaid
adalah merupakan bantuan hukum yang bisa menjadi pedoman bagi ahli-ahli hukum
dalam mengeluarkan suatu fatwa atau oleh hakim dalam memutuskan suatu perkara
sepanjang tidak melenceng dari Alquran, Sunnah Rasul atau prinsip-prinsip umum
hukum Islam.
Perbedaan
antara Ushul Fiqh dan Qawaid Fiqhiyyah (Qaidah Fiqh) adalah, Ushul
Fiqh menaruh perhatian utama pada aturan-aturan menterjemahkan teks hukum
dan metodelogi yang diikuti untuk menurunkan suatu aturan dari teks hukum. Ushul
Fiqh merupakan suatu metode yang diterapkan untuk menurunkan aturan-aturan
umum dari sumber-sumber asli. Misalnya, aturan “Amr (Komunikasi dalam
bentuk perintah) merupakan kewajiban” adalah suatu qaidah ushuliyah. Semua
amalan wajib seperti mendirikan sholat, membayar zakat dan memenuhi perjanjian
diturunkan dari aturan ini. Aturan itu diterapkan pada semua perbuatan yang
status hukumnya wajib dalam Islam.
Di
sisi lain, Qawaid Fiqhiyyah diekstrapolasi dari ketentuan-ketentuan fiqh
dan menitik beratkan pada upaya mengidentifikasi analogi hukum dan
mengelompokkannya ke dalam judul yang sesuai. Aturan “Suatu yang membahayakan
harus dihilangkan” misalnya adalah kaidah fiqh yang memasukkan semua ketentuan
dalam hukum Islam di mana menghapuskan hal-hal yang membahayakan
dititikberatkan oleh syariah seperti hukum-hukum yang berkaitan dengan
kompensasi terhadap pengrusakan harta seseorang, hukum mengganti kerugian,
hukum Qisas, Hukum pre-emption (dalam istilah fiqh disebut “Syuf’ah”
yaitu hak prioritas untuk membeli terlebih dahulu), likuidasi, hak membatalkan
kontrak dan lain-lain.[7]
Selain
Qawaid ada juga istilah Dabitah. Dabitah adalah
memfokuskan penerapannya dalam topik-topik yang induvidual. Sementara Qawaid
atau Qaidah adalah satu aturan yang umum yang dapat diterapkan pada
semua spesifikasi yang terdapat dalam beberapa bab Fiqh. Misalnya ada Kaidah
“Suatu perbuatan dinilai dari niat di balik perbuatan itu” yang diterapkan pada
berbagai bidang seperti ibadah, transaksi, hukum kriminal dan lain-lain.
Sumber
dan asal Qawaid dapat dikelompokkan ke dalam beberapa kategori :
1.
Qawaid yang diturunkan dari teks Alquran dan
Hadis Rasulullah SAW. Contohnya, kaidah ‘Dasar dari segala perbuatan adalah
maksud perbuatan tersebut” diturunkan dari hadist yang terkenal : “Innamal
A’malu binniyat (yang artinya : “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung
pada niatnya)”.[8]
Begitu juga dengan kaidah “Kesulitan dapat memunculkan kemudahan” didasarkan
pada sejumlah ayat Alquran yang memberikan suatu kemudahan ketika mengalami
keadaan sulit. Seperti tercantum dalam Alquran Surat Al-Baqarah ayat 185 yang
berbunyi :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ
هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ
الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ
أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ
الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
﴿١٨٥﴾
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Qur'an sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya
itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya
dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan
kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Dan Surat Al-Hajj ayat 78 yang berbunyi :
وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِّلَّةَ أَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ
هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمينَ مِن قَبْلُ وَفِي هَذَا لِيَكُونَ الرَّسُولُ شَهِيداً
عَلَيْكُمْ وَتَكُونُوا شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ
وَاعْتَصِمُوا بِاللَّهِ هُوَ مَوْلَاكُمْ فَنِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيرُ
﴿٧٨﴾
078. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah
dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.
(Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian
orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur'an) ini, supaya
Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas
segenap manusia, maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah
kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung
dan sebaik-baik Penolong.
2.
Qawaid yang aslinya adalah hadist Rasulullah
SAW, namun kemudian lebih dikenal sebagai kaidah-kaidah hukum antara lain :
a.
Siap menerima untung berarti siap menerima rugi
الخراج بالضمان
b.
Setiap hutang yang membawa keuntungan bagi yang
meminjamkannya adalah Riba
كل قرض جر نفعا فهؤ ربا
c.
Jangan menjual apa yang tidak engkau miliki
لاتبع ما ليس عند ك
3.
Qawaid yang didasarkan pada ketentuan-ketentuan
fiqh, tersebar dalam beberapa bab berbeda pada kitab-kitab fiqh.
4.
Qawaid yang berasal dari Ushul Fiqh
(yaitu prinsip-prinsip hukum Islam) yang diturunkan oleh ulama fiqh yang
berasal dari ketentuan Alquran dan Sunnah antara lain contohnya :
a.
“Keyakinan itu tidak dapat dihilangkan dengan
keragu-raguan” atau Istishab yang terkenal dalam hukum Islam
اليقين لا يزول بالشك
b. “Adat kebiasaan itu merupakan hakim” atau prinsip Urf
العادة محكلمة
c.
Ijtihad tidak berlaku apabila adan nushush (teks
Alquran atau Hadist yang menjelaskan hukum itu)
الاجهاد لاينقض بمله
[1] Knut S. Vikor, Betwen God and Sultan, A History of Islamic
Law, (New Delhi: Cambridge House, 2005), hal. 165
[2] Zarqa, Al-Madkhal al-Fiqhi al-Amin, (Damascus: University of
Damascus Press, 1959), jilid 2, hal. 933
[3] Ali Hayder, Durar al-Hukkam Sharh Majallat al-Ahkam al-Adliyah,
(Beirut: Daar al-kutub alilmiyyah), n. d. hal. 17
[4] Salim Rustum Baz, Sharh
majjalah, (Beirut: Daar al-kutub al-Ilmiyyah), n. d. vol. 1, hal. 17
[5] Muhammad Amin Ubadah, Tarikh al-Fiqh Islami, (Cairo: Dar
al-Tiba’ah, 1395), 2nd edition, vol. 1, hal. 107
[6] Muhammad b. Ahmad Al-Maqqari, Al-Qawaid, (Makkah: Umm al-Qura
University), n.d. hal 107
[7] Muhammad Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi
Bisnis, (Bogor: Ulul Albab Institut, 2010), hal. 9
[8] Ibid. hal 11