Aturan dengan keyakinan versus keraguan dan
pandangan untuk meneruskannya, yang dinyatakan oleh kaidah, mencakup semua
kasus di mana suatu konflik antara
keberadaan sesuatu di masa lalu dan keraguan akan keberlangsungannya. Kaidah
ini menyatakan bahwa aturan hukum dari sesuatu yang dibangun dengan sebuah
keyakinan akan terus berlanjut,
dan keraguan tidak akan mempengaruhi kedudukannya, karena kedudukan yang telah dibangun itu adalah suatu pernyataan kepastian, dan pandangan yang merubah kedudukan itu (keraguan) akan ditiadakan atau dihapuskan.[1]
dan keraguan tidak akan mempengaruhi kedudukannya, karena kedudukan yang telah dibangun itu adalah suatu pernyataan kepastian, dan pandangan yang merubah kedudukan itu (keraguan) akan ditiadakan atau dihapuskan.[1]
Para pemikir muslim
telah mengelompokkan derajat pembuktian dalam persoalan keyakinan versus
keraguan ini ke dalam 5 kategori: yaqin (yakin), ghalabatudz-dzann (berprasangka kuat), zann (prasangka), syak (ragu-ragu),
dan wahm (bisikan hati). Mereka
membolehkan menyandarkan praktik hukum-hukum syariah pada tiga kategori
pertama. Konssep kepastian telah tercantum dalam kaidah dasar dan sejumlah
kaidah pelengkap.
Makna dari kaidah dasar
yang disebutkan diatas, bahwa begitu sesuatu didasarkan atas keraguan, maka hal
itu, hanya bisa dibatalkan melalui bukti tertentu yang seimbang. Atas dasar
prinsip ini, harta waris tidak dapat dituntut dari seorang yang hilang, karena
dugaannya ia masih hidup sepanjang tidak ada bukti yang menyatakan bahwa ia
sudah meninggal dunia. Disini, dalam kasus ini, hidupnya orang-orang yang
hilang dibangun dari fakta, yang tidak dapat ditolak hanya berdasarkan keraguan
dan kematiannya. Oleh karena itu, hartanya tidak dapat dibagikan kepada ahli
warisnya berdasar keraguan ini. Jika terdapat bukti yang menyatakan ia
meninggal dunia, maka hartanya dapat diwariskan kepada kerabatnya.[2]
[1] Muhammad
Tahir Mansoori, Kaidah-Kaidah Fiqh Keuangan dan Transaksi Bisnis, (Bogor:
Ulul Albab Institut, 2010), hal 117
[2] Ibid. hal 118