Bila kita mengkaji tentang asal kata “tasawuf”, baik melalui buku-buku atau kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama terdahulu maupun saat ini belum ada kesepakatan dari para ahli tentang masalah ini. Para ahli tasawuf sendiri masih berbeda pendapat mengenai asal mula kata tersebut.
Secara etimologi, sebagian dari mereka berpendapat bahwa kata “tasawuf” merupakan bentuk masdar dari kata kerja “tasawwafa” yang berarti “labitsa al shuf” atau memakai pakaian dari wol,[1] yaitu pakaian yang biasa dipakai oleh orang-orang miskin di timur tengah pada zaman dahulu yang pakaian kemewahan saat itu adalah sutra. Karena orang sufi ingin hidup sederhana dan ingin menjauhi hidup keduniawian dan kesenangan jasmani, maka mereka hidup sebagai orang-orang miskin dengan memakai wol kasar.[2]
Juga berasal dari kata “al-shafa” yang berarti bersih (murni). Ada juga yang mengambil dari perkataan “shuffah” yang dinisabkan kepada ahlu al-shuffah, yaitu sahabat-sahabat Nabi yang dengan keyakinan dan keimanan datang kepada Nabi dan turut berjuang menegakkan agama Islam. Mereka meninggalkan kampung halaman dan harta benda untuk hidup bermandi cahaya wahyu di dekat Nabi SAW. Karena jumlah mereka banyak, maka Rasulullah membangun asrama di samping masjid bagi mereka.
Sedangkan menurut Abu Hafish Umar bin Abdul Azis : “sebagian yang lain berpendapat bahwa kata tasawuf bisa berasal dari seluruh kata-kata tersebut karena pada setiap kata terdapat makna yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.”[4]
Maka mereka yang menisbatkannya kepada kata “shuf”, karena melihat hal tersebut dari segi pakaian yang dikenakan oleh para sufi yang terbuat dari wol atau bulu domba. Lalu mereka yang menisbatkannya kepada kata ”suffah” karena melihat dari sisi usaha orang-orang sufi untuk menyerupai “ahli suffah” r.a. Sedangkan mereka yang menisbatkannya kepada kata “shafa” karena melihat sisi kebersihan hati dan jiwa para sufi. Dan mereka yang menisbatkannya kepada kata “shaf”, karena melihat kecendrungan orang-orang sufi untuk shalat di barisan terdepan (pertama).
Jirji Zaidan berkeyakinan bahwa kata tasawuf berhubungan dengan kata Yunani “shopia” yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian maka al-shuffiyah artinya adalah kebijaksanan. Karena menurutnya ilmu tasawuf belum muncul dan belum dikenal sebagai ilmu seperti sekarang ini kecuali setelah masa penerjemahan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab serta masuknya kata filsafat kedalam bahasa Arab.[5]
Adapun secara terminologi, kata tasawuf juga memiliki berbagai defenisi. Para ulama yang menulis tentang tasawuf telah sama-sama mengetahui bahwa pendefenisian tasawuf dalam satu defenisi yang universal dan memiliki batasan (jami’ dan mani’), adalah suatu masalah yang sangat rumit. Hal ini disebabkan banyaknya defenisi yang muncul dari para tokoh-tokoh sufi. Bahkan terkadang terdapat banyak defenisi yang berasal dari satu orang. Menurut Qusyairi hal ini dikarenakan setiap orang berbicara sesuai dengan waktu dan keadaan yang dialaminya.[6]
Hal ini juga dapat terjadi karena umumnya pengertian yang dikemukakan oleh para sufi sangat erat kaitannya dengan Tuhan. Muhammad al Jariri misalnya, ketika ditanya tentang pengertian tasawuf, maka beliau berkata “masuk ke dalam setiap moral yang luhur dan keluar dari setiap moral yang rendah”.[7] Abu Husainan-Nuri mendefenisikan tasawuf dengan kemerdekaan, kemurahan, tidak membebani diri dan dermawan”.[8]
Secara umum, Ibrahim Hilal mengemukakan bahwa “tasawuf adalah memilih jalan hidup secara zuhud yaitu menjauhkan diri dari perhiasan hidup dalam segala bentuknya. Tasawuf itu adalah bermacam-macan ibadah, wirid dan lapar, berjaga di waktu malam dengan memperbanyak shalat dan wirid sehingga lemahlah unsur jasmaniah dalam diri seseorang hingga semakin kuatlah unsur rohaniahnya. Tasawuf itu adalah menundukkan jasmani dan rohani dengan jalan yang disebut sebagai usaha mencapai hakikat kesempurnaan rohani dan mengenal zat Tuhan dengan segala kesempurnaan-Nya. Inilah yang mereka gambarkan dengan hakikat”.[9]
Kata sufi atau sufiah diartikan sebagai orang yang selalu mengamalkan ajaran tasawuf dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, sufi berarti orang yang telah mensucikan hatinya dengan mengingat Allah (zikrullah), menempuh jalan kembali kepada Allah dan sampai pada pengetahuan hakiki (ma’rifah).[10] Menurut Basyir al-Haris (seorang ahli sufi): “Ash-shufi man shafa qalbuhu” yang artinya: sufi adalah orang yang telah bersih hatinya semata-mata untuk Allah.
Istilah tariqat berasal dari kata al-tariq yang berarti jalan menuju kepada hakikat. Menurut istilah adalah tata cara yang telah digariskan dalam agama dan dilakukan hanya karena penghambaan diri kepada Allah dan karena ingin berjumpa dengan-Nya.[11]
Tarekat dan Tasyawuf adalah dua hal yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Sebagaimana diterangkan sebelumnya, istilah “tasyawuf” merupakan suatu disiplin ilmu yang lebih dititikberatkan pada teori bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah untuk mencapai keridhoan-Nya, sedangkan prakteknya pelaksanaannya sering disebut dengan istilah “Tarekat”.
Beberapa hal yang membedakan antara ilmu tarekat dengan ilmu tasyawuf diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Ilmu tarekat merupakan induk dari ilmu tasyawuf karena ilmu tarekat pada dasarnya lebih dulu ada melalui praktek kehidupan Nabi(saw) yang diikuti oleh para sahabat beliau.
2. Ilmu tarekat tidak disampaikan kepada umum, melainkan kepada orang-orang yang datang dan bertemu langsung kepada sang guru untuk tujuan yang sangat khusus yaitu mendekatkan diri kepada Allah demi mencapai keridhoan-Nya semata dengan cara-cara yang tidak menyimpang sedikitpun dari petunjuk gurunya. Sedangkan tasyawuf dapat disampaikan kepada umum secara langsung dari guru maupun secara tidak langsung melalui berbagai media cetak dan elektronik.
3. Ilmu tarekat berhubungan langsung dengan hal-hal yang ghaib, sedangkan tasyawuf hanya berhubungan dengan hal-hal yang nyata saja.
4. Ilmu tarekat lebih bersifat kepada praktek, sedangkan ilmu tasyawuf lebih bersifat teoritis.
[1] H.A.R. Giib, Shorter Encyclopedia of Islam, Photomechanical Reppint, Leiden , 1961, hal. 579 – 580. Tim Penyusun IAIN Syahid, Ensiklopedi Islam Indonesia, PT. Djambatan, Jakarta , 1992, hal. 931
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, Jilid II, IU Press, Jakarta , 1986, hal. 931
[3] Khan Salib Khaja Khan, Studies in Tasawuf, Terjemahan : Ahmad Nashir Budiman, Tasawuf : Apa dan Bagaimana, PT. Grafindo Persada, Jakarta , 1993, hal. 131.
[4] Abu Hafish Umar bin Abdul Aziz, Syuhbah al – Tashawwuf, Dar al – Huda, Kairo, 1992, hal. 7
[5] Tim Penyusun, Pengantar Ilmu Tasawuf, Proyek Ditbinperta IAIN Sumut, Medan , 1981 / 1982
[6] Abu Hafish, Op. Cit, hal. 8.
[7] Abdul Halim Mahmoud, Hal Ihwal Tasawuf, Alih Bahasa : Abu Bakar Basylemeh, Darul Fikir, Kuala Lumpur, t.t., hal. 209.
[8] Loc. Cit
[9] Ibrahim Hilal, At – Tasawuf al – Islam Baina al – Din Wa al – Falsafah, Dar an – Nahdhiyah, Kairo, 1979, hal. 1.
[10] M.S. Nasrullah, Kunci Memasuki Dunia Tasawuf. Bandung : Mizan, 1996), hal. 289.
[11] Ibid, hal. 262