Konsep Riba dan Larangan Riba

Praktek riba telah ada sejak dahulu kala. Ditemukan bukti bahwa pada masa kejayaan Sumeria (sekitar 3000-1900 SM) telah terdapat sistem kredit yang sistematik. Sistem ini juga mengandung unsur riba, dimana untuk bahan makanan (gandum) tingkat suku bunganya adalah sebesar 33,33% setahun sedangkan untuk uang (perak) sebesar 20% setahun. Pada Zaman Babylonia (sekitar 1900-732 SM) terdapat suatu peraturan yang dikeluarkan oleh raja Hammurabi yang menguatkan tingkat suku bunga yang berlaku pada masa Sumeria sebagai tingkat suku bunga yang sah menurut undang-undang Babylonia.

Ketentuan tersebut berlaku hingga hampir 1.200 tahun lamanya. Praktek riba ini berlangsung terus menerus pada zaman Assyria (732-655 SM), Neo Babylonia (625-539SM), Persia (539-333 SM), Yunani (500-100 SM) dan Romawi (500-90 SM). Selain itu, terdapat pula bukti-bukti yang menunjukkan bahwa pinjamanyang diberikan oleh penguasa eropa (raja-raja) pada masa lalu juga berdasarkan atas riba. [1]
Riba dilihat dari segi bahasa artinya bertambah, berkembang atau tumbuh, sedangkan dari segi istilah dimaknai sebagai segala macam tambahan yang dipersyaratkan dalam akad tanpa imbalan yang dibenarkan secara syariah. Dalam Al Qur’an surat Ar-Rum ayat 39
“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)”

Dari surat Ar-Rum ayat 39 di atas jelas dinyatakan bahwa riba adalah tambahan pada harta manusia, yang demikian tidak diperbolehkan oleh syariah Islam. Beberapa pengertian riba yang dikemukakan oleh ulama antara lain :  
“Pengertian secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud riba dalam ayat Al Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu ’iwad (penyeimbang/pengganti) yang dibenarkan syariah”  (Muhammad ibnu Abdullah ibnu al-Arabi al-Maliki, dalam kitab Ahkam al-Qur’an.)
“Prinsip utama riba adalah penambahan. Menurut syariah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil.” (Badr ad-Dien al-Ayni, dalam kitab Umdatul Qari)
“Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya ‘iwadh (padanan) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.” (Imam sarakhsi, dalam kitab al-Mabsut)
Riba secara garis besar, riba diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu riba yang terjadi akibat hutang-piutang dan riba yang terjadi akibat jual-beli. Riba hutang-piutang dibagi lagi menjadi dua yaitu riba qard dan riba jahiliyyah. Sedangkan riba jual-beli dibagi menjadi riba fadl dan riba nasi’ah.
1. Riba akibat utang-piutang:
a.       Riba Qard. Suatu tambahan atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkanterhadap yang berhutang.
b.      Riba Jahiliyyah. Hutang yang dibayar lebih dari pokoknya, karena sipeminjamtidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.

2. Riba akibat jual-beli:
a. Riba Fadl. Pertukaran antar barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi.
b. Riba Nasi’ah. Penangguhan atas penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi’ah terjadi karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dan yang diserahkan kemudian.
Allah melarang riba dan mengharamkannya sebagai yang ditetapkan dalam Al Qu’ran sebagai berikut :
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan batil. Kami telah menyediakan untuk orangorangkafir diantara mereka itu siksa yang pedih.” (An-Nisa: 160-161)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Ali Imran: 130)

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya.” (Al-Baqarah : 278- 279)

Dalam Al Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Said al-Khudri bahwa Rasulullah SAWbersabda :
“Emas hendaklah dibayar dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, tepung dengan tepung, kurma dengan kurma, garam dengan garam, bayaran harus dari tangan ke tangan. Barang siapa memberi tambahan atau meminta tambahan, sesungguhnya ia telah berurusan dengan riba. Penerima dan pemberi sama-sama bersalah. (Riwayat Muslim)

Dalam amanat terakhirnya pada tanggal 9 Zulhijjah tahun ke-10 Hijriyah nabi Muhammad SAW menekankan sikap Islam yang melarang riba: “Ingatlah bahwa kamu akan menghadap Tuhanmu dan Dia pasti akan menghitung amalanmu. Allah telah melarang kamu mengambil riba, oleh karena itu hutang akibat riba harus dihapuskan. Modal (uang pokok) kamu adalah hak kamu. Kamu tidak akan menderita ataupun mengalami ketidak adilan.” (Riwayat Bukhari) Larangan riba adalah merupakan suatu strategi atas penghapusan ketidak adilan yang merupakan tujuan sentral dari semua ajaran moral yang ada pada suatu masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan Islam tidak sendirian dalam menentang riba. Agama Yahudi, Nasrani, dan Hindu pun melarangnya. Bible tidak membedakan antara interest dan usury, dan bahkan mencap mereka yang mempraktikannya sebagai penjahat. [2]


[1]  Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, op.cit hal 35-36
[2]  Lihat Bible-Ezekiel, 18:8,13,17:22:12 Lihat juga Exodus. (Keluaran), 22:25-27, Levitiens (Imamat orang Levi)