Perjanjian dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst, sedangkan hokum perjanjian disebut overeenkomstenrecht. Pengertian perjanjian lebih sempit dari perikatan.
Pasal 1313 KUH Perdata mendefinisikan perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Hal ini menunjukkan bahwa perjanjian (overeenkomst) menimbulkan konsekwensi antara dua pihak atau lebih yang memberikan suatu kewajiban atau prestasi dari pihak yang satu kepada pihak yang lain. Perjanjian dalam pembiayaan tidaklah berbeda dengan perjanjian dalam kredit pada bank konvensional, karena sumber dari perjanjian tetap mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang terdapat pada Buku III tentang Perikatan Pada Umumnya. Perikatan menurut pasal 1233 KUH Perdata lahir karena suatu perjanjian atau karena undang-undang.
Dari kedua sumber ini, maka yang terpenting ialah perikatan yang timbul dari perjanjian (hukum perjanjian).39Oleh karena para pihak mempunyai kebebasan untuk mengadakan segala jenis perikatan, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1338 KUH Perdata ayat (1) jo Pasal 1337 KUH Perdata) [1] Para ahli hukum perdata umumnya sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1233 KUH Perdata kurang lengkap. Karena di luar Pasal 1233 KUH Perdata, masih ada sumber perikatan, yaitu doktrin, hokum yang tidak tertulis dan keputusan hakim. Walaupun perikatan dan perjanjian mempunyai ciri-ciri yang sama, namun ada perbedaannya. Perbedaannya bahwa perikatan adalah suatu pengertian yang abstrak sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang kongkrit. Kita tidak dapat melihat suatu perikatan, hanya dengan membayangkannya dalam alam pikiran kita. Tetapi kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya. Dalam suatu proses pemberian pembiayaan maka hal yang terpenting adalah dibuatnya suatu perjanjian pembiayaan, atau yang dalam perbankan syariah biasa disebut dengan akad pembiayaan. Penafsiran mengenai perjanjian diatur dalam Pasal 1342 sampai dengan 1351 KUH Perdata. Menurut Pasal 1342 KUH Perdata :
Jika kata-kata dari suatu perjanjian cukup jelas, maka tidaklah diperkenankan untuk menyimpang daripadanya dengan jalan penafsiran. Kemudian menurut Pasal 1343 KUH Perdata : Jika kata-kata dari suatu perjanjian dapat diberi berbagai penafsiran, maka yang harus dilihat adalah maksud para pihak yang membuat perjanjian itu.
Perjanjian dakatakan sah apabila memenuhi syarat subyektif dan syarat
obyektif. Syarat subyektif yaitu syarat yang berkaitan dengan subyeknya :
1. Adanya kata sepakat antara para pihak
2. Para pihak masuk katagori cakap hukum
Kemudian syarat obyektif, yaitu syarat yang berkaitan dengan obyeknya, yaitu:
1. Adanya hal tertentu
2. Sebab yang halal secara hukum dan norma-norma positif
Perjanjian adalah bagian dari perikatan, dimana perikatan dapat timbul dari dua hal yaitu :
1. Perikatan yang timbul dari perjanjian
2. Perikatan yang timbul dari undang-undang
Sedangkan perikatan didefinisikan sebagai hubungan yang terjadi di antara dua orang atau lebih, yang terletak dalam harta kekayaan, dengan pihak yang satu memiliki hak atas prestasi dari pihak yang lain dan pihak yang lain dimaksud berkewajiban memenuhi prestasinya. Dalam bahasa Belanda perjanjian lazim disebut verbintenissenrecht.
Perikatan terdapat unsur-unsur yang melekat, yaitu : Hubungan hukum, kekayaan, pihak-pihak, dan prestasi. Artinya adalah terhadap hubungan yang terjadi dalam lalulintas masyarakat, hukum meletakkan hak pada suatu pihak dan meletakkan kewajiban pada pihak yang lain.
[1] Djaja S. Meliala SH. MH., Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum Perikatan, CV. Nuansa
Aulia, Bandung 2007 Hal 80